Keterangan: Tulisan ini merupakan riset dari
artikel-artikel media cetak/online yang relevan (seperti: Kompas,
Nasional.Tempo.Co, Liputan6.com, Kumparan, dan Tirto.Id) dan didukung oleh
keilmuan penulis yang didapatkan ketika di Kampus. Tulisan ini dikerjakan
karena muncul rasa penasaran penulis ketika menyaksikan di televisi, Tommy
Soeharto disindir oleh pewawancara soal keterlibatannya dalam kasus pembunuhan
hakim agung. Keingin tahuan penulis tentang kasus tersebut, mendorong penulis
untuk melakukan investigasi mengenai kasus tersebut. Penulis juga tidak
menampik bahwa tulisanya masih terdapat banyak kekurangan. Terahir, semoga
tulisan ini bermanfaat untuk menambah wawasan atau sekedar mengisi kekosongan
waktu.
September
2000, Majelis Hakim Agung yang diketuai M Syafiuddin Kartasasmita telah
memutuskan hukuman Tommy
Soeharto dan Direktur Utama PT Goro
Batara Sakti, Ricardo Gelael. Keduanya diketahui tersangkut
dalam perkara korupsi tukar guling tanah (ruilslag) gudang beras milik Badan
Urusan Logistik (Bulog). Atas
perbuatannya tersebut, Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael dikenakan hukuman masing-masing
18 bulan penjara dan denda
masing-masing sebesar Rp 10 juta.
Selain itu, keduanya juga diwajibkan membayar sejumlah uang
yang sesuai dengan bukti kerugian negara, yaitu Rp 96,6 miliar.
Tidak
hanya Tommy dan Ricardo, ada nama lain dibalik kasus korupsi tukar guling
tanah, seperti Kepala Bulog,
Beddu Amang,
dan pengusaha rekanan penyalur Bulog, Hokiara. Namun, pada 19 April 1999, Beddu
Aman dinyatakan bebas oleh majelis hakim karena dakwaan yang disusun Jaksa
Penuntut Umum (JPU) tidak lengkap. Untuk Hokiara pada masa itu, belum diketahui
status perkaranya.
Adapun proses pertimbangan yang
memberatkan dalam kasus ini
adalah
Tommy yang dinilai
berbelit-belit. Tommy
terlihat tidak berniat untuk ikut mengembalikan kerugian negara. Tommy juga
tidak berniat menyediakan asset pengganti, karena memang tidak merencanakan
atau mengganggarkan dana untuk itu. Sementara
untuk
hal-hal yang meringankan dalam kasus
ini,
Tommy bersikap sopan dalam persidangan, Ia tergolong masih muda sehingga masih dapat
memperbaiki dirinya, dan sebelumnya
pun Ia belum
pernah dihukum. Selain itu, walaupun memberi keterangan berbelit-belit, dalam
penampilannya tampak rasa menyesal. Namun, hal berbeda dilakukan oleh Ricardo
Gelael, ia lebih bersifat kooperatif terhadap sidang dan berniat untuk menganti
kerugian negara.
Menurut
penasihat Hukum Tommy, Nadirman Munir, keputusan hukuman penjara dan ganti rugi
adalah diskriminasi palayanan hukum oleh Mahkamah Agung (MA), karena ia merasa
di MA pada masa itu ada ribuan kasus dan mengapa kasus Tommy yang di ubek-ubek.
Nadirman Munir menambahkan, kasus ini sangat kental akan muatan politik. Tidak
hanya itu, menurut kuasa Hukum Tommy Soeharto lainnya, Marzuki, mereka akan mengajukan peninjauan kembali
(PK). Meskipun banyak yang bilang PK akan mengganggu eksekusi kasus tersebut,
Marzuki, berpendapat dalam Pasal 268 Ayat (1) KUHP tentang permintaan peninjauan kembali atau
suatu putusan tidak menangguhkan maupun mengehentikan pelaksaan dari putusan
tersebut, atau dalam kalimat lain PK tidak menunda eksekusi, karena eksekusi
sepenuhnya wewenang Kejaksaan. Tidak hanya Tommy Soeharto yang akan mengajukan
PK, dari pihak Ricardo Geael juga akan mengajukan PK. Ricardo Gelael menganggap, bahwa ia tidak bersalah dalam
perkara ini dan ingin menempuh upaya terahir, dengan mengajukan bukti-bukti
yang dapat meyakinkan MA bahwa dirinya tidak bersalah.
Menurut
Direktur Pidana MA,
Djoko Sarwoko, MA memprioritaskan untuk menangani kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN) yang melibatkan keluarga Cendana. Hal itu dilakukan untuk memenuhi
tuntutan masyarakat dan mendukung program permerintah dalam upaya mengungkap
kasus KKN sebagai salah satu langkah menegakan supremasi hukum. Selain itu, ia
membenarkan bahwa di MA memang ada sekitar ratusan permohonan kasasi yang belum
diproses.
Sementara
itu, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Antasari Azhar, berpendapat jika Tommy Soeharto ingin
mengajukan PK, maka pihak
kejaksaan akan melakukan ekseskusi secepatnya karena pengajuan
PK tidak menunda eksekusi. Akan tetapi, jika terdakwa mengajukan grasi ke
Presiden, kemungkinan eksekusi tidak dapat langsung dilaksanakan. Pengajuan
grasi biasanya disertai dengan permohonan penangguhan putusan. Dalam hal ini,
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang akan memutuskan apakah akan menerima
permohonan penangguhan atau tidak.
Ketua
Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 2000, Amin Aryoso, menyambut positif putusan MA. Bahkan ia
mengatakan, “Peradilan telah menangkap roh reformasi.” Tidak hanya itu, ia juga
meminta agar Jaksa Agung segera melaksanakan putsan MA tersebut dan memuji
hakim Syafiuddin Kartasasmita yang berani mengambil keputusan yang adil meski
dengan resiko besar. Senada
dengan Amin Aryoso,
Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia tahun 2000, Yusril Ihza Mahendra, turut mendorong agar terdakwa segera
melaksanakan hukumuan yang telah ditetapkan oleh Hakim Agung Syafiuddin
Kartasasmita karena pemerintah tidak akan melalukan kompromi.
Setelah
keputusan bersalah ditetapkan
ke Tommy Soeharto dan Ricardo Geael, muncul reaksi mahasiswa dengan melakukan unjuk rasa di
Jalan Cendana, rumah Tommy Soeharto. Reaksi tersebut juga diperhatikan oleh
Presiden Abdurrahman Wahid, ia menegaskan tentara tidak berhak melarang
mahasiswa untuk berunjuk rasa di Jalan Cendana. Sebab, tugas aparat keamanan di
Jalan Cendana hanya menjaga rumah mantan penguasa Orde Baru, Soeharto dan bukan
melarang mahasiswa untuk melakukan unjuk rasa karena sekarang bukan zaman Orde
Baru. Ia juga mengemukakan, kalau mahasiswa diajak berbicara dengan baik,
dipastikan mahasiswa akan bisa menerima demonstrasi cukup di jalan sana.
“Ya
paling tinggi, nanti mereka pakai batu nyambitin kaca-kaca jendela (rumah
Soeharto). Biar saja, kan (Soeharto), korupsinya banyak,” ujar Presiden.
Munculnya
reaksi bukan hanya dikalangan mahasiswa, namun masyrakat itu memunculkan reaksi
terhadap kasus tersebut. Hal itu dikemukakan
oleh pengamat politik dan peneliti senior pada Research Institute for Democracy
and Peace (Ridep),
Soedjati J Djiwandono.
Menurut Soedjati, kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah akan mengalami peningkatan jika kasus tersebut dieksekusi hingga
masuk penjara, sesuai dengan putusan majelis hakim agung. Dengan dieksekusinya
Tommy akan memberi dampak psikologis yang besar ke masyarakat dan meningkat
kepercayaan terhadap pemerintah. Ia menambahkan, bahwa yang diinginkan
masyarakat adalah kepastian dan keberanian pemerintah terhadap penegakan hukum
untuk kasus-kasus besar.
Grasi dan Peninjauan Kembali (PK)
Tommy
Soeharto akhirnya meminta maaf dan meminta grasi dari Presiden. Grasi diatur
dalam Pasal 14 Perubahan Pertama UUD 1945 yang berisi Presiden memberikan grasi
dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Meski
memohon grasi, Tommy tetap merasa tidak bersalah. Dalam suratnya kepada Presiden, Tommy juga
tidak menyatakan penyesalannya atas terjadinya kasus tukar guling tanah
(ruilslag) milik Badan Urursan Logistik (Bulog) ke PT Goro Batara Sakti yang
telah merugikan negara. Tidak hanya itu, dalam surat permohonan grasi, Tommy
tidak menyinggung soal kewajiban mengembalikan uang negara. Hal berbeda
dilakukan oleh Ricardo yang secara tegas, sebagai bentuk perwujudan penyesalan,
ia secara pribadi telah mengembalikan uang negara sejumlah kurang lebih Rp 14
miliar.
Tommy beranggapan, dalam kasus itu ia berniat melakukan
perjanjian ruilslag dengan Bulog semata-mata untuk membantu pemerintah
meningkatkan pembangunan perdagangan bersama badan koperasi. Ia menambahkan,
bahwa secara tulis tidak ada kesengajaan untuk melalukan pelanggaran, baik
secara pribadi maupun selaku Komisaris Utama PT Goro Batari Sakti, sehingga
berakibat terjadinya kasus tersebut.
Langkah selanjutnya, Tommy ke
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta untuk menyampaikan surat permohonan grasi dan
permohonan penangguhan eksekusi. Permohonan grasi Tommy telah tercatat di
registrasi PN Jakarta Selatan dengan Nomor 05/Pid/Grasi/PN Jaksel. Setelah
mengunjungi PN, Tommy yang didampingi oleh tim penasehat hukum, antara lain Bob
Nasution, Nudirman Munir, LLM Samosir, dan Erman Umar, ke Kantor Kejari Jaksel. Kedatangannya
tersebut untuk memenuhi panggilan Kepala Kejari berkaitan dengan putusan
majelis hakim agung yang diketuai Syafiuddin Kartasasmita yang menghukum Tommy
18 bulan penjara.
Namun, dalam tim penasihat hukum
Tommy Soeharto memiliki
perbedaan pendapat. Perbedaan terjadi antara Samosir yang mengatakan bahwa
penasihat hukum Tommy akan segera mengajukan penunjauan kembali. Namun
penasehat hukum lainnya, Bob Nasution,
menyangkal
Tommy akan mengajukan PK, ia beranggapan bahwa tim penasehat hukum Tommy hanya
akan mengajukan grasi. Antasari Azhar,
selaku Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menganggap meskipun dalam
undang-undangan tidak mengatur bahwa seseorang yang telah mengajukan grasi
tidak boleh mengajukan PK, secara logika hukum hal tersebut patut dipertanyakan karena terdapat ketidakkonsistenan
sikap jika mengajukan grasi dan PK. Ketidakkonsistenan terjadi karena grasi mengandung
pengakuan bersalah, sedangkan PK adalah perlawanan terhadap putusan hakim yang
menyebutkan seseorang bersalah. Sementara itu Wakil Ketua PN Jaksel, Soemarno, mengatakan pada dasarnya pengajuan
grasi dan PK dibenarkan karena tidak ada produk hukum yang mengatur tentang
larangan bagi terpidana mengajukan kedua upaya hukum. Namun lazimnya,
permohonan PK disampaikan setelah terbitnya Keppres mengenai permohonan grasi.
Apabila PK diajukan sebelum terbitnya
grasi, tentu saja konsekuensi yuridisnya seorang terpidana harus melaksanakan
putusan dengan kata lain terlebih dahulu dieksekusi.
Kepala Divisi Oprasional Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Daniel Panjaitan, pada tahun 2000 berpendapat mengenai
grasi yang diajukan Tommy, ia mengharapkan Presiden Abdurrahman Wahid menolak
permohonan grasi yang diajukan Tommy Soeharto. Sebab, jika permohonan grasi itu
diterima, hal itu akan mendorong tersangka perkara korupsi lainnya untuk
mengajukan grasi dan menghindarkan diri dari pemenjaraan.
Ketika ditanya oleh wartawan
mengenai permintaan grasi Tommy Soeharto, Presiden Abdurrahman Wahid menjawab
singkat, “Tidak,
tidak.” Presiden beranggapan bahwa kasus tersebut agar berjalan sesuai
keputusan MA. Ia menambahkan bahwa kasus ini bukan persoalan suka atau tidak
suka terhadap seseorang. Ini persoalan hukum. Jadi, sepenuhnya ada di tangan
Jaksa Agung. Namun pernyataan lisan Presiden tidak dapat digunakan sebagai
dasar bagi kejaksaan untuk melakukan eksekusi. Kejaksaan hanya dapat melakukan
tugasnya sebagai eksekutor setelah ada Keputusan Presiden (Keppres) yang
menyatakan menolak permohonan grasi Tommy.
Sementara itu, Antasari Azhar
membenarkan bahwa keterangan lisan Presiden tidak bisa menjadi dasar untuk
mengeksekusi. Ia menambahkan, Kejaksaan masih menunggu turunnya Keppres
penolakan atas permohonan grasi Tommy, karena membutuhkan nomor grasi. Tidak
hanya itu praktisi hukum Abdul Hakim Garuda Nusantara berpendapat, pernyataan
Presiden yang tidak akan memberikan grasi kepada Tommy Soeharto menandakan
Presiden kurang mengerti prosedur grasi, karena Presiden harus mendapatkan
pertimbangan dari MA. Ia menambahkan, penolakan Presiden, harus jelas
pertimbangannya apa, kalau dikabulkan pertimbangannya apa, tidak bisa begitu
saja. Selain itu, Jaksa Agung Marzuki Darusman berpendapat senada dengan Abdul
Hakim Garuda, ia berpendapat sebaiknya Presiden mempertimbangkan kepetingan
umum yang lebih luas untuk menentukan apakah permohonan grasi Tomy Soeharto
bisa diberikan atau tidak. Prosedur pengajuan grasi tidak rumit karena yang
bersangkutan bisa mengajukannya ke Pengadilan Negeri setempat, kemudian dibawa
ke MA untuk diteruskan kepada Presiden melalui Menteri Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia (HAM).
Namun hal sedikit berbeda
disampaikan Menteri Kehakiman dan HAM,
Yusril Ihza Mahendra,
mengatakan bahwa dikabulkan
atau tidaknya permohonan grasi yang diminta Tommy Soeharto sepenuhnya terserah
Presiden. Ia menambahkan, Presiden memang akan meminta pertimbangan pada MA
maupun Menteri Kehakiman dan HAM sebelum memutuskan apakah menerima atau
menolak permohonan grasi. Namun, kewenangan menerima atau menolak tetap berada
sepenuhnya di tangan Presiden.
Sementara itu, Sekeretariat Jendral
(Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) sekaligus Wakil Ketua DPR, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, menyarankan agar Presiden tidak
memberikan grasi kepada Tommy Soeharto. Alasannya, pemberian grasi tersebut
akan menyakitkan rasa keadilan rakyat yang menghendaki Tommy dihukum atas
kesalahan yang dilakukannya. Tidak hanya itu, di Gedung MPR/DPR Cak Imin juga
menyatakan mendukung agar Presiden tidak memberi grasi kepada Tommy. Sementara
itu Ketua Komisi II DPR,
Amin Aryoso,
yakin Presiden akan bersikap arif dalam memutuskan apakah memberi grasi atau
menolak grasi bagi Tommy. Amin Aryoso menambahkan, ia yakin Presiden dalam
memberikan grasi akan memperhatikan aspirasi masyarakat yang ingin Tommy
dihukum.
Dari sudut pandang penasihat hukum
Tommy Soeharto, Nudirman Munir,
menyatakan ia terkejut atas pernyataan Presiden dengan penolakan secara lisan.
Meski sudah menduga sebelumnya, Nudirman tidak menyangka Presiden akan
mengambil keputusan secepat itu. karena kliennya telah mengajukan permohonan
grasi sesuai prosedur hukum, keputusan Presiden juga harus berada pada koridor
hukum yang berlaku. Nada tidak menerima keputusan keterangan lisan Presiden
juga diungkapkan oleh Nurdiman Munir, ia menyatakan keputusan Presiden jelas
kental dengan nuasa politiknya.
Sementara itu, Presiden Abdurrahman
Wahid mengakui bertemu dengan terpidana Tommy Soeharto. Dalam pertermuan tersebut
Tommy meminta agar vonis dirinya ditinjau kembali. Namun Presiden mengatakan,
kasus tersebut merupakan urusan MA dan bukan urusan Presiden, jadi tidak ada Kolusi, Korupsi,
dan Nepotisme (KKN). Peristiwa tersebut tidak dijelaskan kapan terjadinya, namun beberapa sumber
menyebutkan pertemuan itu berlangsung tanggal 7 Oktober 2000 di Hotel Borobudur,
Jakarta.
Juru
bicara Kepresidenan, Yahya Staquf,
menilai kesedian Presiden bertemu dengan Tommy Soeharto di Hotel Borobudur
merupakan sikap seorang Presiden yang selalu bersedia mendengarkan siapa saja
tetapi Presiden tidak akan meninggalkan prinsip kebenaran. Ia juga menambahkan,
pertemuan tersebut bisa terjadi karena ada permintaan Tommy untuk bertemu
Presiden dan Presiden bersedia memenuhi permintaan tersebut.
Pada 02 November 2000, Presiden
Abdurrahman Wahid menandatangani Keppres No 176/G/2000 tentang penolakan grasi
yang diajukan terpidana Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael yang sebelumnya juga sudah mendapatkan penolakan dari
Presiden secara lisan. Keputusan menandatangani penolakan grasi terjadi setelah Mentri
Kehakiman dan HAM,
Yusril Ihza Mahendra,
dan Jaksa Agung,
Marzuki Darusman,
bertemu Presiden. Setelah penandatanganan Keppres penolakan tersebut, Yusril
menyatakan, tidak ada alasan untuk tidak menolak grasi yang diajukan Tommy
Soeharto, karena pihaknya telah
memerika semua berkas perkara dan mereka
berkesimpulan
tidak ada alasan untuk memberikan grasi. Mekipun pihak Tommy Soeharto
mengajukan PK, menurut Yusril, PK sama sekali tidak akan menangguhkan eksekusi
atau dalam kata lain menunda eksekusi.
Keputusan Presiden dengan menolak
grasi untuk Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael mendapat dukungan dari ketua
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Akbar Tandjung. Akbar Tandjung menilai, keputusan Presiden Abdurrahman Wahid
menolak grasi Tommy merupakan langkah yang konsisten dan mampu memenuhi rasa
keadilan masyarakat banyak. Selain itu, Akbar Tandjung juga berpendapat, dengan
ditolaknya grasi Tommy, maka prasangka buruk bahwa Presiden melakukan deal
dengan Tommy ketika pertemuan di Hotel Borobudur, akan terhapus dengan
sendirinya. Hal senada juga disampaikan Ketua Komisi II DPR, Amin Aryoso, ia menyambut baik sikap
tegas Presiden dan secara tidak langsung Presiden menyatakan perang terhadap
KKN.
Jaksa Agung Marzuki Darusman yakin
Tommy Soeharto akan mematuhi eksekusi yang dijatuhkan kepadanya. Apabila yang
bersangkutan tidak memenuhi panggilan, pihak Kejaksaan dapat menjemput atau
mengambilnya secara paksa. Tidak hanya itu, menurut Wakil Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan,
Soemarno, dengan keputusan Presiden yang menolak permohanan grasi Tommy dan
Ricardo, dengan sendirinya penangguhan eksekusi tidak berlaku lagi. Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Antasari Azhar, menambahkan pihaknya setelah menerima
salinan Keppres, akan mengeksekusi Tommy dan Ricardo.
Dari sudut pandang penasihat hukum
Tommy Soeharto, Nurdirman Munir,
mengatakan bahwa
jaksa tidak bisa langsung mengeksekusi Tommy hanya lantaran sudah menerima
salinan Keppres. Selain itu,
mereka juga harus menunggu sampai Tommy Soeharto menerima
salinan Keppres, jaksa harus menunggu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
mencabut penetapan penangguhan eksekusi atas diri Tommy. Nurdiman menambahkan
keputusan itu sangat tidak adil, ia menanggap bahwa Tommy Soeharto tidak
merugikan negara sepeserpun.
Hal
berbeda disampaikan oleh penasihat hukum Ricardo Gelael, Panji Prasetyo, mereka
menerima keputusan Presiden. Namun, Panji hanya akan meminta eksekusi agar
dilakukan pada tanggal 06 November 2000. Hal itu semata-mata untuk alasan kemanusiaan, karena Ricardo
ingin berkumpul dengan keluarga dan anaknya yang akan ulang tahun pada tanggal
04 November 2000.
Setelah
Keppres penolakan grasi Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael, Dirjen Pemasyrakatan, Adi Suyatno, mengatakan Lembaga Pemasyrakatan (LP)
Cipinang telah siap menerima terpidana kapan pun
dan tidak ada perlakukan khusus untuk keduanya. Dari sumber petugas di LP
Cipinang, Tommy Soeharto maupun Ricardo Relael akan menempati sel yang pernah
digunakan Joko Sugiarto Tjandra dan Rudy Ramli.
Tommy Buron
Terpidana Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, hinggal tanggal 4 November 2000 pukul 00.10, masih dicari oleh pihak Kejaksaan. Selanjutnya Pihak Kejaksaan akan membuat surat penggeledahan untuk mencari dimana keberadaan Tommy dan ketika itu Tommy berstatus sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO). Antasari Azhar menilai adanya kesan Tommy menghindari eksekusi. Antasari meminta tolong masyrakat agar yang mengetahui keberadaan Tommy segera melapor ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Tidak hanya itu, pihaknya sudah mengeluarkan surat perintah penangkapan Tommy Soeharto dan sudah memantau beberapa tempat yang kemungkinan ada Tommy, yaitu di Taman Mini atau kemungkinan di Solo. Tidak hanya itu, pihak Kejaksaan juga melakukan koordinasi yang cukup baik dengan kepolisian.
Terpidana Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, hinggal tanggal 4 November 2000 pukul 00.10, masih dicari oleh pihak Kejaksaan. Selanjutnya Pihak Kejaksaan akan membuat surat penggeledahan untuk mencari dimana keberadaan Tommy dan ketika itu Tommy berstatus sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO). Antasari Azhar menilai adanya kesan Tommy menghindari eksekusi. Antasari meminta tolong masyrakat agar yang mengetahui keberadaan Tommy segera melapor ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Tidak hanya itu, pihaknya sudah mengeluarkan surat perintah penangkapan Tommy Soeharto dan sudah memantau beberapa tempat yang kemungkinan ada Tommy, yaitu di Taman Mini atau kemungkinan di Solo. Tidak hanya itu, pihak Kejaksaan juga melakukan koordinasi yang cukup baik dengan kepolisian.
Sikap
berbeda ditunjukan oleh Ricardo Gelael, Jumat 3 November 2000 pukul 19.20 WIB.
Ia didampingi pengacaranya,
Maqdir Ismail dan Panji Prasetyo,
sampai di Kejari Jaksel. Ricardo juga menyampaikan, ia menerima keputusan dan
tidak akan kabur. Namun yang disayangkan olehnya, keputusan ini begitu
mendadak. Keluarganya masih goyang. Ibunya kena serangan jantung di rumah
Ricardo. Selain itu, ia juga mengungkapkan rasa sedihnya terhadap keputusan
tersebut. Namun, ia menganggap bahwa ini sudah menjadi resiko yang harus
ditanggungnya. Sementara itu, kedatangannya ke Kejari karena ia mendapatkan
informasi dari televisi dan memutuskan untuk segera mendatangi Kejari, karena
tidak ingin menyusahkan keluarganya. Berkaitan dengan penangguhan eksekusi
Ricardo, Antasari
mengakui sudah meminta permohonan dari Ricardo. Akan tetapi, Ricardo sudah
mendapat pengertian agar tetap menjalankan eksekusinya. Setelah mendatangi
Kejari, pada Jumat, 3 November 2000 pukul 21.50, Ricardo Gelael resmi menghuni
sel di Blok IV A LP Cipinang.
Peluru Tewaskan Hakim Agung
Ketua
Muda Pidana Umum Mahkamah Agung,
Syafiuddin Kartasasmita,
pada Kamis, 26 Juni 2001 tewas ditembak dua pengendara sepeda motor yang
menghadangnya di Jalan Sunter Jaya, Keluarahan Serdang, Kecamatan Kemayoran,
Jakarta Pusat. Ia ditembak saat hendak pergi ke kantor pukul 08.30 WIB. Menurut
Kepala Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Pusat, Komisasris Besar Mathius Salempang,
pihaknya belum bisa memastikan pembunuhan tersebut berkaitan dengan jabatan
yang disandang oleh Syafiuddin.
Hari pertama pembunuhan Syafiuddin, polisi langsung konsentrasi melakukan
penyelidikan di tempat kejadian perkara di Jalan Suntar Jaya, Jakarta Pusat.
Kepala Kapolda Metro Jaya,
Irjen Sofjan Jacoeb, Kepala Direktorat Reserse Komisaris Besar, Adang Rochjana, Kapala Polres Jakarta
Utara, Komisaris Besar
Matius Salempang, Kepala Satuan Reserse Umum Komisaris, Tito Karnavian, dan belasan perwira di
jajaran Polda Metro turun langsung ke tempat kejadian. Ketika itu juga, Sofjan
Jacoeb membentuk tim khusus untuk mengungkap kasus tersebut.
Selain itu, Kepala Kepolisian Sektor (Polsek)
Metro Kemayoran Herry R Nahak, para pelaku sudah mengintai korban sejak mobil
korban meninggalkan rumahnya. Kedua pelaku tampaknya memepet dan menembak dua
kali dari arah kanan, pada saat mobil Syafiuddin melintas di dekat Jembatan Pintu Air, yang menghubungkan Jalan
Sunter Kemayoran
dengan Jalan Bendungan Jago. Satu peluru mengenai batang jendela dan satu lagi
memecahkan kaca jendela di samping korban. Peluru yang memecahkan kaca itu
diperkirakan langsung mengenai bagian bawah telinga kanan korban tembus ke
rahang kiri.
Setelah
tertembak, mobil langsung oleng
dan lepas kendali, melewati Jembatan Pintu Air, menyerong, serta langsung
menyerempet dan menabrak tiga tempat usaha warung. Mobil korban tidak hanya menabrak
warung, tetapi juga menyerempet
Rozali yang tengah membeli rokok di warung, Abdul Latip, dan Dedi Suprdi yang
tengah membereskan kursi warung. Luka terparah dialami oleh Rozali, ia harus
dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) karena luka di bagian muka, dada, dan tangan.
Sebelum
berhenti, motor penjahat itu tetap mengejar dan menyalip mobil korban. Motor
berhenti sekitar dua meter dari mobil korban. Salah satu pelaku yang berada di
motor turun, menghampiri mobil Syafiuddin sambil menembak tiga kali mengenai
kaca depan mobil. Penjahat yang berkaus putih, bertopi pet, dan sebagian
wajahnya ditutup sapu tangan warna gelap sekali lagi menembak. Tembakan itu
mengenai bahu kanan korban tembus ke punggung. Sementara itu teman pelaku yang
masih berada di motor, dengan tangan kiri memegang pistol dan menodongkan ke
beberapa orang yang berada di sana. Sebelum melarikan diri, para pelaku menembak
sebanyak dua kali ke udara
dan segera kabur.
Menurut
praktisi hukum Dr. Todung Mulya Lubis, ia beranggapan bahwa kasus ini merupakan
bentuk teror terhadap penegakan hukum. Hal itu terjadi karena Syafiuddin
terkenal sebagai hakim agung yang dikenal bersih serta tegas terhadap koruptor.
Ia juga meyakini, penembakan Syafiuddin
bukan tindakan
kriminal belaka, melainkan terkait perkara yang sedang serta sudah
ditanganinya. Syafiuddin merupakan Hakim Agung yang mengadili perkara Tommy
Soeharto, Mohammad “Bob”, dan mantan Presiden Soeharto. Hal senada juga
dikemukankan oleh hakim agung R Suni Wahadi, ia mengatakan bahwa Syafiuddin
pernah mengatakan kalau ditawari uang sebesar Rp 20 Miliar berkatian dengan
satu kasus korupsi yang ditanganinnya. Namun Syafiuddin tidak menerima tawaran
tersebut.
Kepala
Direktorat Reserse Polda Metro Jaya,
Komisaris Besar Adang Rochjana, menyatakan
kasus
ini berkaitan dengan fungsi dan jabatan almarhum. Hal tersebut ia ungkapkan dari
hasil pemeriksaan puluhan saksi, termasuk karyawan atau pejabat di MA. Ia menilai belum ada indikasi
adanya masalah keluarga, dan bukan perampokan dengan maksud mengambil harta
korban. Tidak hanya itu Syafiuddin memang menjadi target untuk “dilenyapkan”,
berkaitan dengan
jabatan atau fungsinya sebagai hakim agung muda. Meskipun sudah mendapatkan
titik terang, Adang dan pihaknya masih meminta waktu untuk bisa melalukan
penyelidikan secara tenang dan jernih.
Ia juga meminta semua pihak agar bersabar dan memberi kesempatan kepada
kepolisian untuk bekerja secara efektif.
Bukan
Syafiuddin saja yang mendapatkan teror, namun Antasari Azhar juga. Teror yang dialami Antasari terjadi
pada 30 Juli 2001 sekitar pukul 20.00 WIB
dan 21.30 WIB. Ia ditelfon oleh seseorang yang mengatakan bahwa “hakimnya sudah
mati, tinggal jaksa dan Kejarinya (Kepala Kejaksaan Negeri).” Teror yang
dialami Antasari tidak hanya ketika ia di rumah. Si penelfon kembali menelfon
ke kantor Antasari dan mengatakan, bahwa si penelfon mengetahui setiap
keberadaan Antasari, bahkan ia sampai mengetahui mobil yang biasa digunakan
oleh Antasari. Bisa dikatakan,
Antasari mendapat empat kali telfon yang bernada ancaman. Namum, pihak kepolisian
belum bisa memastikan teror yang dialami oleh Antasari ada kaitannya dengan
terbunuhnya hakim agung Syafiuddin atau tidak. Ada pihak lain yang mengatakan
bahwa teror yang dialami oleh Antasari berkaitan dengan terbunuhnya Syafiuddin.
Karena dalam kasasi Tommy majelis hakim agung yang diketuai Syafiuddin
memutuskan menghukum Tommy dengan hukuman pidana 18 bulan penjara dan membayar
denda serta membaya sejumlah uang untuk ganti rugi keuangan negara. Atas
putusan itu, Antasari selaku Kejadi Jaksel bertindak sebagai pihak yang
melaksanakan putusan tersebut.
Ketika
melaksanakan putusan tersebut, Antasari dan Jaksa Penuntut Umum, Fachmi, gagal mengeksekusi Tommy karena
Tommy melarikan diri yang hingga tanggal 30 Juli 2001 masih belum ditemukan.
Selanjutnya,
berbagai upaya dilakukan Antasari
untuk melaksanakan putusan kasasi MA tersebut, antara lain dengan menyita tanah
dan rumah Tommy untuk mengantisipasi jika nanti Tommy tidak mau membayar uang
ganti rugi yang seharusnya dibayar Tommy kepada negara.
Dugaan Kasus Baru.
Petugas
dari Polda Metro Jaya, Senin 6 Agustus 2001, berhasil menyita sembilan pucuk
senjata api terdiri atas empat senjata laras panjang, lima laras pendek,
ratusan peluru berbagai ukuran, 22 granat manggis, serta rangkaian bom yang
terdiri atas bahan peledak, detonator, timer, 13 telepon seluler, dan 74 dinamis aktif dan siap
dirangkai. Benda-benda berbahaya tersebut diperoleh dari oprasi penggeledahan
di Apartemen Cemara di Menteng, Jakarta Pusat, dan rumah tinggal di Jalan Alam
Segar III No 23, Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Menurut Kepala Polda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Sofjan Jacoeb, yang didampingi Panglima Kodam Jaya
Mayjen Bibit Waluyo, semua barang berbahaya tersebut milik orang-orang suruhan
Tommy Soeharto. Mereka adalah Ferry Ukong, Dedi, Dodi Harjito, Hetty Siti
Handika, Agus Dias, Martunus, Romi, dan Edwin. Selain menemukan benda-benda berbahaya tersebut,
Kepolisian juga menemukan data dan dokumen yang diperoleh. Data tersebut menunjukkan Ferry
Ukong dan Dedi telah menggambar lokasi, rumah, rute, mobil yang biasa digunakan
hingga kebiasaan hakim agung. Polisi juga menemukan bukti-bukti dokumen rencana
membunuh tiga hakim agung. Tiga hakim agung itu adalah almarhum hakim agung
Syafiuddin Kartasasmita, hakim agung Sunu, dan hakim agung Paulus Lotulung.
Berkaitan dengan penemuan bukti tersebut, pihak kepolisian langsung memberikan perlindungan
24 jam ke tiga hakim yang mendapat ancaman. Tidak hanya itu, Sofjan juga memberikan waktu kepada
Tommy Soeharto agar secepatnya menyerahkan diri. Kalau Tommy tidak menyerahkan
diri, pihak Kepolisian akan
ambil tindakan tegas dan keras.
Menurut Sofjan, dokumen juga
menjukkan ada surat yang menyebut kemungkinan keterlibatan Tommy dengan GAM
melalui Ferry Ukong dan kawan-kawan. Namun, tidak dijelaskan arti GAM yang Ia maksud. Tidak hanya itu, pengadaan
sejanta api dan bahan-bahan peledak itu dilakukan oleh Tommy Soeharto. Sofjan mengatakan,
senjata tersebut diperoleh dari Afganistan, melalui seseorang yang menggunakan
nama samaran Muhammad Karim. Menurut Sofjan, ketika penemuan semua barang
bukti, polisi langsung mengembangkan nama-nama tersangka apakah ada keterkaitan
dengan GAM atau tidak. Sofjan menambahkan, tidak ada keterlibatan oknum anggota
TNI dalam aksi teror dan peledakan bom.
Dugaan Tommy terlibat dalam Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) dibantah keras oleh Teungku Amri bin Abdul Wahab yang merupakan
Komandan Oprasi Komando Pusat Angkatan Gerak Aceh Merdeka. Ia mengatakan bahwa
ayah Tommy adalah musuh bebuyutan
mereka.
Jadi, sangat mustahil
kami mau bekerja sama dengan keluarga mereka. Ia juga menyampaikan kritik
terhadap kepolisian karena menuding polisi di Jakarta tidak professional dan
hanya mudah menjadikan GAM sebagai kaming hitam tanpa ada satu penyelidikan
yang tuntas.
Tidak
hanya itu, pada tanggal 06 Agustus 2001, Kepala Kepolisian RI Jenderal, (Pol) Suroyo Bimantoro, mengatakan bahwa pihak kepolisian sudah
menangkap dua pembunuh hakim agung Syafiuddin dengan nama Mulawarman dan Noval dari
kalangan sipil. Dengan penangkapan tersebut, polisi akan mengembangkan kasus
ini mengenai siapa yang menyuruh dan sebagainya. Kedua pelaku berada dalam
tahanan Polda Metro Jaya.
Dalam
pengembangannya, pelaku mengaku pembunuhan itu atas perintah Tommy Soeharto
dengan upah masing-masing Rp 50 juta. Tidak hanya itu, dalam pengembangannya
kasus pembunuhan hakim agung dan penemuan barang-barang berbahaya di rumah kontrakan
Tommy Soeharto,
polisi juga menduga ada kesamaan antara
bom di Plaza Atrium Senen dengan bahan peledak yang ditemukan di Jalan Alam
Segar III No 23, Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Sementara
itu, kuasa hukum Tommy Soeharto, Nudirman Munir, menyayangkan pertanyaan Kepala
Polda Metro Jaya,
Inspektur Jendral Sofjan Jacoeb,
yang langsung menyatakan bahwa peledakan bom yang terjadi ketika itu di
Jakarta, dan terbunuhnya hakim agung Syafiuddin, ada kaitannya dengan Tommy
Soeharto. Nudirman menilai, Kepala Polda telah melanggar asas praduga tak
bersalah. Seharusnya petugas dari Polda Metro Jaya terlebih dulu meneliti dan
mengkaji kasus ini lebih jauh apakah memang ada kaitan dengan Tommy.
Menyikapi
kritikan yang diberikan oleh kuasa hukum Tommy Soeharto, Kepala Direktorat
Reserse Polda Metro Jaya, Adang Rochjana, menolak tudingan sejumlah kalangan
bahwa polisi telah berpendapat terlalu dini dengan menuding Tommy sebagai
dalang pembunuhan Syafiuddin. Adang menegaskan, kepolisian tidak menuduh,
kepolisian hanya menyampaikan pengakuan dari Mulawarman dan Noval. Mulawarman
ditangkap di perempatan RS Fatmawati, Jakarta Selatan, sekitar pukul 01.00 WIB,
ketika bersama anak dan istrinya hendak pergi ke Jawa Timur. Sementara sekitar
pukul 03.00 WIB, Novel dibekuk di daerah Kebon Nanas, Jakarta Timur dan polisi
terpaksa menembak kaki kanan Noval karena ia berusaha melakukan diri.
Dari
keterangan pelaku, mereka memperoleh senjata dan bayaran pembunuhan dari Tommy.
Pelaku juga mengaku, sebenarnya Tommy ingin turun tangan sendiri menghabisi
Syafiuddin. Namun, ragu-ragu dan mengajukan Noval dan temannya untuk melakukan
eksekusi tersebut. Keterangan kedua tersangka perihal aksi penembakan itu cocok
dengan keterangan saksi kejadian yang berlangsung di Sunter Jaya.
Keterangan
dari saksi yang berada di tempat kejadian perkara diperoleh ketika hari pertama
dan kedua setelah korban terbunuh. Sementara itu, dihari ketiga, kepolisian
berkonsentrasi melalukan penyelidikan
terhadap teman-teman korban di Mahkamah Agung. Pada hari keempat, tim
beranggotakan
delapan orang dipimpin oleh seoarang komisaris, langsung mempunyai kepastian,
yakni Tommy Soeharto kemungkinan besar sebagai pelakunya. Hal itu berdasarkan
pertimbangan dari empat kasus besar yang dihadapi oleh Syafiuddin, hanya kasus
Tommy Soeharto yang hakim anggotanya hakim agung Sunu dan Paulus Lotulung
mendapat ancaman serupa akan dibunuh. Tidak hanya itu, Kepala Kejaksaan Negeri
Jakarta Selatan,
Antasari,
juga mendapatkan ancaman serupa. Arah penyidikan makin terarah ke Tommy
Soeharto, karena penyidik mendapatkan informasi bahwa Tommy bersama dua orang
temannya mengunjungi Syafiuddin di rumahnya, di Cipayung, Jakarta Timur. Tommy
dan rekannya itu meminta Syafiuddin menyatakan Tommy tidak bersalah dalam kasus
tukar guling PT Goro-Bulog.
Tidak
hanya itu, Adang menjelaskan,
polisi menemukan pistol jenis Berreta caliber 9 mm dalam penggeledahan di rumah
Tommy. Setelah uji balistik di laboratiorium forensik, ditemukan adanya
kesamaan antara peluru yang ditembakan ke Syafiuddin dengan tembakan pistol
Berreta yang disita itu.
Berkaitan
dengan bom, polisi juga menemukan kaitan atau adanya kesamaan jenis bom yang
meledak di Atrium dengan bahan peledak di rumah yang dikontrak Tommy di Jalan
Alam Segar, Pondok Indah, Jakarta Selatan. Bom di Atrium diaktifkan dengan
telepon seluler. Sementara, rangkaian bahan peledak di Pondok Indah
juga memanfaatkan telepon seluler
untuk mengaktifkan bom. Adang menambahkan, ledakan di Slipi dan Mampang berasal dari granat jenis manggis, sementara di
rumah kontrakan Tommy juga ditemukan granat manggis.
Berkaitan
dengan barang bukti yang ditemukan oleh kepolisian, Adang meminta jajaran
kepolisian untuk menyebarluaskan sekitar 5.000 lembar pamflet bergambar seorang
pria berkumis dan berjenggot dengan wajah Tommy Soeharto. Ribuan pamflet itu
disebar dengan menggunakan
helicopter di daerah Ibu Kota. Ia
yakin, Tommy Soeharto masih berada di Ibu Kota. Adang meminta masyarakat yang
mengetahui keberadaan Tommy untuk melaporkan ke kantor polisi terdekat. Tidak
hanya itu, Kepala Polda Metro Jaya,
Irjen Sofjan Jacoeb,
dan beberapa pengusaha akan memberikan hadiah sebesar Rp 500 juta kepada orang
yang bisa menangkap Tommy Soeharto. Ia juga mengunkapkan, berdasarkan
keterangan para tersangka, Tommy kerap membawa tas berisi senjata api dan
granat. Langkah serupa juga dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Sutioyoso, ia menjanjikan hadiah bagi
wali kota, camat, dan lurah di wilayah Jakarta yang berhasil menginfomasikan
keberadaan buronan Tommy Soeharto.
Pihak
kepolisian juga melakukan operasi jalanan untuk mencari Tommy Soeharto. Operasi
pemeriksaan terhadap mobil-mobil di beberapa ruas jalan di DKI Jakarta. Ketika
operasi tersebut puluhan petugas polisi yang dilengkapi senjata laras panjang melakukan razia
di Jalan Cendana, yang menuju kediaman mantan Presiden Soeharto, dan Jalan
Yusuf Adiwinata, yang menuju rumah Tommy. Mobil-mobil yang melintas dihentikan,
pengendara dimohon keluar untuk menunjukkan
surat-surat identitas diri dan kendaraan, lalu mobil digeledah. Pemeriksaan di sekitar kediaman Tommy Soeharto dan
mantan Presiden Soeharto dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan Tommy
pulang ke rumahnya secara diam-diam. Tidak hanya di kawasan tersebut polisi
melakukan pemeriksaan di jalan-jalan protocol di Jakarta seperti Jalan Gajah
Mada serta perbatasan Jakarta dengan daerah tetangganya. Di Jalan Raya
Cibubur-Cilengsi KM 1, perbatasan antara Jakarta Timur dan Kabupaten Bogor juga
dilakukan pemeriksaan. Namun, hasil yang didapatkan masih tidak memuaskan.
Kepala
Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Adang Rochjana, menghimbau agar keluarga Tommy untuk segera
menyerahkan dia ke polisi. Itu semua untuk menghindari terjadinya pertumpahan
darah yang tidak perlu. Kepala Staf TNI Angakatan Darat (KSAD), Jendral Endriartono Sutarto, menyatakan pihaknya akan menindak tegas
anggota TNI AD yang coba-coba melindungi buronan Tommy Soeharto. Sanksi
pemecatan juga akan dijatuhkan terhadap anggota TNI AD yang terbukti terlibat
dalam kasus tersebut.
Menurut
ahli hukum Prof Achmad Ali, jika Tommy Soeharto terbukti bersalah dalam kasus
pengeboman dan pembunuhan atas hakim agung Syafiuddin Kartasasmita, maka ia,
berdasarkan undang-undang, dapat dijatuhi hukuman mati. Ia menambahkan, Tommy
diduga mempunyai banyak masalah hukum yang berat. Pertama, ia jadi buronan dan
mengelak menjalani hukuman penjara satu tahun enam bulan. Dengan urusan buronan
itu saja, pengadilan dapat menambahkan hukumannya, melalui proses peradilan.
Kedua, jika terbukti di pengadilan Tommy memerintahkan dua orang suruhan
membunuh hakim agung Syafiuddin, maka ia sebagai pelaku intelektual bisa
dikenakan hukuman mahaberat, yakni hukuman mati, sebagaimana diatur Pasal 340
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketiga, jika terbukti di pengadilan bahwa Tommy
memiliki senjata api secara ilegal,
termasuk memiliki granat dan bom, ancaman hukumannya juga pidana mati. Keempat, jika terbukti di pengadilan bahwa ia
yang menyuruh meledakkan bom dan granat, maka hukumannya juga mati. Ia
menambahkan, Tommy baru dapat lolos dari semua ancaman hukuman pindana jia ia
menginap penyakit gila, bukan pura-pura gila. Faktor lain yang bisa
meloloskannya, kalau ia meninggal dunia.
Reaksi Masyarakat
Koalisi Organisasi Non-pemerintah Antikekerasan dan
Antikorupsi, berunjuk
rasa di depan Gedung Korps Reserse Markas Besar (Mabes) Polri. Mereka menuntut
Kepolisian RI untuk tidak takut
dan ragu mengungkap dan menyidik kasus kejahatan konspirasi dan korupsi,
termasuk tidak boleh ragu mengusut kasus pembunuhan hakim agung Syafiuddin
Kartasasmita. Menurut
para pengunjuk rasa, pembunuhan Syafiuddin menandai makin mengkhawatirkannya
ancaman kekerasan di tengah masyrakat. Mereka juga menambahkan, siapa pun
pelaku dan aktor intelektual
di belakang pembunuhan tersebut, serta motif yang melatarbelakanginnya, merupakan teror nyata, karena
momen yang dipilih adalah pergantian kekuasaan dalam kancah politik nasional.
Pesan yang mencuat dan mecekam kesadaran publik adalah pemerintah boleh
berganti, tetapi kekerasan tetap berjalan.
Mereka menyatakan mengutuk
penggunaan kekerasan demi melindungi kepentingan pribadi dan kelompok. Apalagi
jika rangkaian tindak kekerasan itu sengaja ditunjukan untuk menghamba, atau
menggagalkan proses penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Mereka juga
menegaskan, kekesaran terhadap aparat penegak hukum adalah ancaman bagi seluruh
warga negara. Bahkan, kekerasan yang dilakukan secara vulgar itu merupakan tantangan konkret bagi
kelangsungan penegakan supremasi hukum di masa transisi ini. Mereka juga
mendesak
agar Polri mengusut tuntas peristiwa penembakan Syafiuddin secepatnya, agar
kredibilitas pemerintahan tetap terjaga. Jika pengusutan peristiwa penembakan
ini mengalami jalan buntu, itu akan menjadi preseden buruk bagi meluasnya
ancaman kejahatan yang teroganisir. Mereka juga meminta agar para penegak hukum
polisi, jaksa, dan hakim untuk tidak takut dan menunda-nunda penyelesaian
perkara secara tegas dan bertanggung jawab.
Koalisi yang berunjuk rasa di Mabes
Polri itu beranggotakan anta lain dari Indonesia Corruption Watch, Institute
for Economic Studies, Masyrakat Transparansi Indonesia, Pusat Advokasi Hukum
dan HAM Indonesia, Transparency Internasional Chapter Indonesia, Jaringan Media
Profetik, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi
HAM, Komite Nasional Antikekerasan, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia,
Jaringan Aktivis 1998, LSM Harun, dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
Universitas Trisakti.
Setelah peristiwa pembunuhan
Syafiuddin, ahli hukum Dr Hamid Awaludin menyatakan, pemerintah sebaiknya
mencabut izin kepemilikan senjata api oleh kalangan sipil. Pemilikan dan
penjualan senjata api hanya akan menambah masalah bagi bangsa yang masih sarat
masalah ini. Kepemilikan senjata seharusnya hanya oleh Tentara Nasinal
Indonesia (TNI), Polri, atau pegawai negeri sipil yang diberi izin memegang
senjata. Hamid juga berpandangan, kepemilikan senjata api di negara ini
ternyata dapat meningkatkan angka-angka kriminalitas. Sejumlah orang yang merasa punya senjata
api, bisa leluasa mengeluarkan ancaman untuk membunuh, menyakiti
lawan-lawannya, atau sekedar menggertak dan memeras. Dengan contoh real, aksi pembunuhan terhadap hakim
agung Syafiuddin Kartasasmita.
Menurut masyarakat awam yang seorang
pensiunan BUMN mengenai kasus Tommy, ia berpendapat, seharusnya polisi
memberikan hadian lebih bukan Rp 500 juta, karena Tommy itu kelas kakap.
Lagipula, hanya dengan imbalan uang saja untuk menangkap penjahat sekelas Tommy
itu tidak cukup. Harus ada intruksi wanted
“dead
or alive!”,
dan jaminan keamanan bagi penangkap dan
keluarganya! Ia juga menganggap polisi di jaman Gus Dur keliatan tidak serius menangkap Tommy.
Baru zaman Mega, mereka serius menangkap Tommy.
Seorang wiraswasta dan mantan
narapidana Bujek berpendapat, Tommy
itu sudah tidak usah diragukan lagi bajingan atau tidak. Menurutnya semua orang
kenal dengan Tommy Soeharto. Cuma yang menjadi masalah, memang Tommy anak orang hebat dan sampai
zamannya Mega masih punya kuasa besar. Ia pun ragu kalau aparat memang sungguh-sungguh mau menagkap Tommy. Paling semua usaha
menangkap ini cuma
bisa-bisanya aparat saja biar dinilai kerjanya beres. Ia mempertanyakan, jika
Tommy sudah tertangkap, Tommy itu tidak bisa lepas lagi? Napi-napi kelas teri
saja bisa “keluar” dari penjara, apa lagi orang sekelas Tommy. Berdasarkan
pengalaman Bujek, ia dulu beberapa kali kabur dari penjara. Menurutnya, urusan
kabur dari penjara adalah hal gampang, asal memiliki keberanian dan duit.
Kasus ini juga memunculkan tanda
tanya besar bagi masyarakat dalam hal akurasi informasi. Muncul pertanyaan,
mengapa tidak ada pengacara independen dalam penahanan para tersangka ini? Bahkan,
biasanya jika polisi berhasil membekuk penjahat, wartawan diberi kesempatan
bertemu dengan para tersangka. Polisi akan menjajarkan para tersangka itu di
sebuah ruang di Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, dan mempersilahkan
wartawan bertanya langsung pada para tersangka. Dalam kasus pembunuhan kasus
Syafiuddin ini, tersangka sama sekali tidak dipamerkan oleh polisi.
Menyikapi hal itu, polisi berdalih
bahwa hal ini demi kelancaran proses pemeriksaan dan penggalian informasi dari
para tersangka. Namun, apa pun argumentasinya, sikap polisi itu telah membuka
peluang bagi terjadinya monopoli informasi, dan akibatnya akan terjadi
manipulasi infomasi kepada publik. Maka, wajar kiranya jika ada pertanyaan dari
kalangan masyarakat.
Jangan-jangan semua kasus itu rekayasa pihak tertentu untuk menyudutkan kembali
Tommy Soeharto. Ada pula pertanyaan, apakah Tommy yang nyaris terlupakan selama
ini, tenggalam dalam hiruk pikuk perebutan kekuasaan politik, bisa dengan
enaknya memutuskan menghabisi nyawa hakim agung yang memutuskan perkaranya?
Opini yang berkembang di masyarakat
juga mengatakan, seharusnya pembunuhan Syafiuddin mudah untuk dideteksi latarbelakangnya.
Lagi pula, kalau memang ingin membunuh hakim agung, kenapa tidak dilakukan sejak
awal Tommy divonis penjara? Teori pembunuhan Syafiuddin ini memiliki persoalan
waktu. Namun, teori pembunuhan ini diperkuat dengan penemuan-penemuan senjata
yang menurut polisi, salah satu pistol yang ditemukan di rumah kontrakan di
Pondok Indah adalah pistol untuk membunuh Syafiuddin. Hebat, begitu gampangnya
menemukan dan menganalisanya. Menurut masyarakat, pembunuh professional
diyakini tidak akan menyimpan senjata yang dipakai dalam aksinya. Pasti akan
dibuang di suatu tempat, misalnya di laut bebas.
Secara keseluruhan, masyarakat
mula-mula bersikap skeptic setelah
berbulan-bulan Tommy melarikan diri dan tak kunjung bisa ditangkap. Tetapi opini masyarakat berubah untuk lebih
berpihak kepada polisi. Hal itu bisa terjadi, karena polisi berhasil melakukan
penggerebekan di sebuah apartemen di Jalan Cemara, Jakarta Pusat, dan di sebuah
rumah di Jalan Alam Segar, Pondok Indah, Jakarta Selatan, yang dinyatakan oleh
pihak polisi sebagai
rumah tempat persembunyian Tommy. Berbagai pujuan dilontarkan oleh masyarakat
untuk kinerja polisi berhasil melalukan penggerebekan dan menemukan beberapa
barang bukti, meskipun masih belum bisa menangkap dan menemukan Tommy. Selain
itu, ahli hukum
Harkristuti Harkrisnowo memang menyatakan, soal kecurigaan orang bahwa polisi
melakukan rekayasa adalah hal biasa dan tidak tertutup kemungkinan itu terjadi.
Akan tetapi, kemungkinan itu sangat kecil, mengingat polisi Indonesia ketika
masa itu sedang giat-giatnya berusaha menciptakan citra yang baik.
Perspektif dari Keluarga Cendana
Mengenai Kasus Tommy.
Sejak
mundurnya Soeharto dari tampuk kepresidenan, keluarga Cendana selalu menjadi
sasaran segala kesalahan yang terjadi di era Orde Baru. Semua tuduhan dan
kekeliruan masa lalu sepertinya begitu mudah untuk dilimpahkan kepada keluarga
Cendana. Oleh sebab itu, untuk kasus Tommy Soeharto, keluarga Cendana lebih
bersikap diam. Sikap diam tersebut membuat keluaraga Cendana menjadi semakin
bulan-bulanan.
Akhirnya
keluarga Cendana mau berbicara, keluarga Cendana yang diwakili Siti Hardiyati
Hariyadi (Titiek) mengimbau agar Tommy Soeharto untuk menyerahkan dan segera
muncul ke publik untuk mengkalirifikasi segala tuduhan yang ditimpakan
kepadanya. Titiek yang merupakan kakak dari Tommy, mengimbau agar masyrakat
untuk tidak cepat-cepat mengambil keputusan bahwa Tommy sebagai dalang yang
bertanggung jawab atas tewasnya Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, serta
temuan senjata api dan bahan peledak yang disita polisi.
Selain
Titiek, Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) juga memberikan komentar senada dengan
Titiek, agar masyarakat tidak mengambil kesimpulan terlalu cepat terhadap kasus
ini. Tutut sebagai kakak tertua di keluarga cendana menambahkan, bahwa adiknya
(Tommy) tidak mungkin melalukan hal-hal yang dituduhkan itu. Dalam pengembangan
kasus tersebut, Titiek dan Tutut turut diperiksa oleh kepolisian untuk kasus
yang dialami oleh Tommy Soeharto. Titiek dalam pemeriksaannya, diberikan 32
pertanyaan oleh penyidik. Karena sakit, ia hanya menjawab delapan dari 32
pertanyaan yang disiapkan penyidik.
Selain
itu, sang mantan Presiden Soeharto yang sudah menjabat kurang lebih 32 tahun
dikabarkan gelisah karena kasus Tommy. Meskipun mantan Presiden Soeharto juga
terlibat kasus pelanggaran hukum, ia sebagai orang tua merasa gelisah dengan
kejadian yang dialami oleh anaknya. Kegelisahan yang dialami oleh mantan
Presiden Soeharto, coba dibendung oleh anak-anaknya. Tutut mengatakan, ketika
kasus Tommy Soeharto bergulir, bapak (Soeharto) sering menanyakan keberadaan
Tommy. Kami sebagai anak selalu mengatakan Tommy sedang pergi keluar negeri.
Tetapi tampaknya bapak tahu mengenai dugaan kasus yang sedang dialami Tommy.
Bapak mengatakan “pergi keluar negeri kok
tidak pulang-pulang.”
Tidak
hanya itu, anak-anak Soeharto juga mencoba untuk membatasi informasi yang
berkembang di masyarakat. Hal itu dilakukan dengan cara tidak memberikan surat
kabar ke Soeharto, siaran televisi khusunya saluran lokal kami batasi. Akan
tetapi, Tutut beranggapan, bapaknya bukanlah anak kecil. Jadi meskipun
dibatasi, ketika bapak sedang menonton sendirian, ia biasanya menganti-ganti chanel
televisi. Bahkan, Soeharto pernah memanggil tukang service untuk membetulkan televisinya karena saluran-saluran
televisi dalam negeri tidak dapat dibuka, hanya saluran luar negeri yang dapat
dibuka.
Tidak
hanya itu, ada sebuah kabar yang berhembus bahwa keluaraga Cendana sempat
menemui Presiden Megawati Soekarnoputri untuk meminta pandangannya
menyelesaikan persoalan yang dihadapi keluarga Cendana. Pertemuan itu terjadi
pada saat Titiek Soeharto menyampaikan upacara selamat dari Pak Harto kepada
Megawati atas pengangkatannya sebagai
Presiden. Dalam pertemuan itu, Megawati menyarankan agar Tommy menjalani saja
keputusan pengadilan. Sebab itu merupakan keputusan yang sudah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
Nada
yang sedikit berbeda
disampaikan oleh Tutut
Soeharto, ia mengatakan bahwa tidak mau merepotkan Presiden Megawati dengan soal-soal
seperti itu. “Kasian
mbak Mega, baru menjabat sudah dikait-kaitkan dengan Orde Baru.” katanya. Dengan penuh
keyakinan, Tutut menganggap Tommy tidak terlibat dalam dugaan kasus pembunuhan
hakim agung dan kasus teror yang terjadi di Jakarta. Ia menegaskan bahwa,
Soeharto selalu mengajarkan anak-anaknya beragama dan tidak mengajarkan
anak-anaknya untuk pikiran cepat/negative.
Selain itu, Tutut Soeharto berharap agar Tommy Soeharto segera menyerahkan diri
atau muncul, agar mengklarifikasi semua kasus dan tuduhan yang menimpanya.
Kembali Lagi ke Kelanjutan Kasus
Korupsi Tommy Soeharto.
Mahkamah
Agung (MA) hingga 18 Agustus 2001 masih belum memutuskan peninjuan kembali (PK)
yang diajukan terdakwa Tommy Soeharto dalam kasus dugaan korupsi tukar guling
tanah Badan Urusan Logistik (Bulog) dengan PT Goro Batara Sakti. PK belum
diputuskan karena majelis hakim yang dipimpin Wakil Ketua MA Taufiq, dengan
anggota German Hoediarto, Ketua Muda MA urusan Lingkungan Peradilan Militer,
dan Ketua Muda MA bidang Hukum Perdata Tertulis, masih mendiskusikan perkara
tersebut.
Menurut Elza Syarief, seorang
penasihat hukum Tommy Soeharto mengatakan, memang belum ada putusan terhadap
permohonan PK atas nama Tommy Soeharto. Ia mengharapkan majelis hakim PK harus
bersikap mandiri dalam memutuskan permohonan PK. Hakim jangan terpengaruh
pendapat yang selama itu berkembang, termasuk peristiwa tewasnya hakim agung
Syafiuddin. Permohonan PK itu harus dilihat sebagai perkara yang berbeda dengan
kasus penembakan Syafiuddin. Ia menambahkan, jika Tommy diduga terlibat kasus
penembakan Syafiuddin, hal itu merupakan perkara lain tidak dapat disatukan
dengan permohonan PK terhadap kasus dugaan korupsi yang dihadapi Tommy.
Berita mengejutkan pada 1 Oktober
2001, MA melalui majelis hakim agung yang diketuai Taufid memutuskan menerima
permohonan PK yang disampaikan terpidana Tommy Soeharto melalui penasihat
hukumnya. Dengan putusan tersebut, Tommy Soeharto dinyatakan tidak terbukti
melalukan tindak pidana korupsi pada kasus tukar guling (ruislag) tanah Bulog
dengan PT Goro Batara Sakti, dan dinyatakan bebas murni. Taufiq mengaku,
putusan yang dibuat oleh majelis hakim agung yang dipimpimnya itu, dengan
anggota Ketua Muda MA Bidang Hukum Perdata Tertulis Soeharto serta Ketua Muda
Urusan Lingkungan Peradilan Militer German Hoediarto, pasti akan menimbulkan
kontroversi dalam masyrakat. Akan tetapi, putusan itu dibuat atas pertimbangan
hukum dan tidak ada intervensi dari siapa pun. Taufiq menambahkan, majelis
hakim agung khusunya saya, dalam perkara Tommy hanya ingin menjalankan perintah
agama. Dengan berdalih janganlah kebencianmu pada seseorang meniadakan
keadilan.
Dari sudut pandang kepolisian,
mereka mengaku terkejut mengenai keputusan tersebut. Namun, Polri tetap mencari
Tommy karena Tommy adalah buronan
Polri untuk kasus dugaan terlibat pembunuhan hakim agung Syafiuddin, kepemilikan
senjata api, dan bahan peledak. Mekipun Adang Rochjana selaku Kepala Direktorat
Reserse Polda Metro Jaya, mengakui lelah mencari Tommy Soeharto. Karena
pihaknya harus mengeluarkan Rp 1.2 Juta setiap hari. Dana tersebut untuk
sekitar 120 personel yang sigap 24 jam. Menurutnya, dana tersebut kemungkinan
besar tidak sebanding dengan dana Tommy untuk mengamankan persembunyiannya.
Meskipun mengalami kelelahan, Polri tetap wajib mencari Tommy.
Pendapat lain dikemukan Dosen
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasssar, Dr Hamid Awaluddin, menilai,
putusan MA yang menerima PK Tommy Soeharto semakin menguatkan, MA tidak sensitive dengan rasa keadilan
masyarakat. Fachmi, JPU yang mendakwa Tommy Soeharto, mengakui, sangat kecewa
terhadap keputusan MA yang menirma PK Tommy. Menurut Fachmi, putusan PK itu
terlalu dini serta tidak pada tempatnya dikeluarkan saat Tommy Soeharto masih
buron. Seharusnya Tommy muncul dulu, baru permohonan PK-nya diproses. Anggota
Komisi II DPR Muttammimul Ula mengaku, ketika itu tidak mudah untuk menilai
putusan PK MA yang membebaskan Tommy Soeharto. Putusan itu dapat terjadi
mungkin karena kelemahan dakwaan jaksa. Tetapi, bisa juga karena majelis hakim
agung terlalu melihat kasus itu secara formalistik. Seorang kuasa hukum Tommy Soeharto,
Nurdiman Munir, sebaliknya menyatakan gembira atas putusan MA itu. Ia mengagap
bahwa putusan itu hasil perjuangan yang melelahkan dan keadilan dapat
ditegakkan.
Menurut tanggapan pakar hukum dari
Universitas Islam Indonesia,
Prof Dr Mahfud MD, praktisi hukum Adnan Buyung Nasution, dan Trimoelja D
Soejadi, mereka berpendapat, putusan majelis hakim yang menerima permohonan PK
Tommy Soeharto telah mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Rasa keadilan
masyarakat sungguh-sungguh terusik karena Tommy Soeharto secara
substantif telah mengaku bersalah dan meminta ampun kepada Presiden dengan
mangajukan grasi. Namun, setelah grasinya ditolak, Tommy memilih untuk
melarikan diri sampai saat ini.
Pendiri Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI),
Adnan Buyung Nasution,
menambahkan, putusan MA yang menerima permohonan PK Tommy Soeharto telah
menghancurkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan yang sebenarnya mulai tumbuh. Putusan tersebut juga
semakin merunyamkan peradilan. Kekecewaan terhadap putusan PK Tommy Soeharto,
juga disampaikan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yusril Ihza Mahendra. Secara pribadi,
ia kecewa dengan putusan itu. Yusril mengatakan, dulu ia menyarankan ke mantan Presiden Gus Dur untuk menolak
permohonan grasi Tommy Soeharto. Menurutnya, bagaimana mungkin orang yang sudah
mengakui kesalahannya dengan memohon grasi, boleh mengajukan PK yang berarti
menolak menyatakan bersalah. Menurutnya, tidakan tersebut merupakan dua hal
yang bertentangan.
Seorang pengacara Trimoelja D
Soerjadi mengatakan, keputusan MA yang menerima PK Tommy Soeharto, benar-benar
mencoreng citra MA. Ia berpendapat, seharusnya para hakim agung itu peka
terhadap tuntutan keadilan yang berkembang di masyarakat. Dalam Undang-Undang
(UU) Pokok Kekuasaan Kehakiman jelas ditegaskan bahwa hakim harus menggali
hukum dan rasa keadilan masyarakat. Jangan terpaku pada pemahaman hukum secara
sempit dalam buku tertulis. Keputusan penerimaan PK Tommy Soeharto menunjukkan
para hakim agung tidak menggali hukum. Selain itu, seharusnya MA
mempertimbangkan berbagai hal, seperti mempertimbangan penolak grasi yang
dimohon Tommy Soeharto ke mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Seharusnya jika
grasi ditolak, maka MA juga menolak PK yang diajukan. Karena sebelum Presiden
memutuskan memberi atau menolak grasi, terlebih dulu meminta pandangan MA.
Dalam kasus ini, grasi sudah ditolak Presiden, kini PK-nya diterima MA.
Pendapat senada disampaikan Ketua
MPR, Amien Rais, ia
berpendapat tidak bisa memahami putusan MA. Menurutnya, bagaimana mungkin orang
yang melarikan diri, buron, menghindari hukuman, bahkan sudah diultimatum
polisi justru diputuskan bebas. Tambah Amien, putusan PK Tommy Soeharto yang
dibuat majelis hakim agung menjadi ironi dalam upaya pemerintah untuk
memperbaiki kondisi perekonomian dan menegakkan hukum. Sebab, putusan itu
langsung membuat kepercayaan masyarakat kepada hukum dan perekonomian nasional
langsung menurun.
Respon sedikit berbeda disampaikan
Wakil Presiden,
Hamzah Haz. Hamzah mengatakan, pemerintah menghormati keputusan hakim yang
mengabulkan PK Tommy Soeharto. Karena kalau hukum sudah menetapkan demikian,
dari aspek hukumnya, tentu kira harus hormati keputusan lembaga hukum yang
berlaku di Indonesia. Ahli hukum Universitas Indonesia (UI), Prof Dr Loebby Loqman, berpendapat serupa, kita harus
menghormati putusan pengadilan. Apa pun putusannya, kita harus menghormati
putusan MA. Ia menambahkan, tentang rasa keadilan masyarakat, keadilan itu ada
keadilan hukum (legal justice)
dan keadilan sosial (social justice).
Dalam kasus ini, kita tidak bisa tidak menggunakan legal justice, sedangkan jika menggunakan social justice ukuran apa yang digunakan.
Menyikapi putusan tersebut, Taufiq sebagai ketua mengutarakan, dalam
memutuskan menerima PK yang diajukan Tommy Soeharto, majelis hakim agung mendapatkan
bukti baru dari kuasa hukum Tommy Soeharto. Bukti baru itu adalah pada saat
ruislag tanah Bulog dengan Goro di Kelapa Gading tersebut dilakukan, Tommy
Soeharto sudah tidak menjabat lagi sebagai
komisaris utama. Taufiq
pun menjelaskan, dengan putusan PK Tommy Soeharto, Tommy tidak bisa dihukum
dalam perkara korupsi tukar guling tanah Bulog dengan Goro. Dapat dikatakan
Tommy bebas murni. Akan tetapi, bukan berarti ia tidak bisa ditangkap dan
ditahan untuk perkara yang lain. Menurut Hamid Awaluddin, putusan PK berlaku
mulai Senin 1 Oktober 2001 dan tidak berlaku surut. Artinya, Tommy tetap harus
menjalani hukuman dipenjara selama sejak putusan kasasi dijatuhkan sampai
turunnya putusan PK atau sekitar 10 bulan. Sebabab sesuai dengan KUHP,
permohonan PK tidak menunda pelaksaan putusan kasasi.
Taufiq juga siap bertanggungjawab
atas putusan ini. Bahkan, ia meminta ke DPR untuk mencopot dirinya jika
dianggap mengotori MA. Jangankan
Ma menjadi kotor, Ia
juga tidak mau tahu apa pendapat pasar, ia hanya berurusan dengan kebenaran. Ia
menambahkan, moral yang melatabelakangi putusan ini, bahwa kebencian pada
seseorang, sekalipun musuh, janganlah menyeret pada ketidakadilan. Timnya
memutus masalah ini mendasarkan pada asal legalitas dan kebenaran materil bahwa
seorang terpidana berhak mengajukan permohonan PK. Taufiq juga menambahkan,
mungkin masyarakat benci pada Tommy, pada Soeharto, dan pada Orde Baru, tetapi
ini tidak boleh menjadikan kita bertindak tidak adil.
Keritik juga dilakukan oleh mantan
Sekertaris Tim Persiapan Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Komisi Antikorupsi) Muzakar Harun dan Ketua
II Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Benny K Harman. Menyarankan MA harus
meninjau susunan majelis hakim yang mengabulkan PK Tommy Soeharto. Menurut
Benny, susunan majelis PK adalah Taufiq yang belatarbelakang peradilan agama,
German Hoediarto hukum militer, dan hakim Soeharto hukum perdata, yang
menurutnya meragukan. Selain itu, Muzakar juga mempertanyakan sikap Ketua MA, Bagir Manan, yang tidak meninjau kembali susunan
majelis hakim yang akan mengadili permohonan PK Tommy Soeharto. Menurutnya,
latar belakang dari hakim yang mengabulkan permohonan PK Tommy tidak kompeten
untuk mengadili perkara yang amat menarik perhatian masyarakat. Adnan Buyu
Nasution mengakui, kompetansi hakim agung yang mengadili PK Tommy Soeharto
memang bisa dipertanyakan. Apalagi, MA sebelumnya sudah memberikan pertimbangan
hukum kepada Presiden berkaitan dengan penolakan permohonan grasi Tommy
Soeharto. Buyung menambahkan, lebih baik dilakukan debat terbuka terhadap
putusan pengadilan yang berkaitan dengan Tommy Soeharto. Taufiq harus berani menjelaskan putusannya di
depan masyarakat.
Benny Harman menyarankan, agar MA ke
depannya, harus betul-betul mengarahkan kepada hakim yang sepesial. MA harus
menjadi kamar-kamar dengan hakim yang spesial
pun. Jangan sampai tiba-tiba hakim militer harus menangani perkara-perkara kepailitan,
atau hakim agama menangini kasus pidana. Mekipun para hakim agung itu semuanya
berlatarbelakang sarjana hukum, tetapi perlu ada spesialisasi seiring dengan
makin kompleksnya masalah hukum yang dihadapi. Sebagai contoh, seorang hakim
militer yang biasa menangani kasus-kasus berkaitan dengan pelanggaran militer,
tentunya amat berbeda dengan kasus-kasus yang banyak melibatkan publik.
Kemampuan mereka menangkap rasa keadilan masyarakat pun akan sangat berbeda.
Tertangkapnya Tommy Soeharto dan
Putusan Pengadilan
Rabu,
28 November 2001 Tommy Soeharto berhasil ditangkap oleh pihak kepolisian,
setelah buron lebih dari 1 tahun semenjak dijatuhi hukuman terkait kasus
korupsi. Menurut Satuan Reserse Umum pimpinan Komisaris, Tito Karnavian, Tommy tidak melakukan perlawanan saat ditangkap.
Selama ini dicitrakan sebagai orang kuat yang selalu dikitari para pengawal
bayaran bersenjata lengkap. Saat disergap, posisi Tommy tidak dalam keadaan siaga
tempur, tetapi tidur dengan kedua tangan di bawah bantal, mengganjal kepalanya.
Keberhasilan kepolisian menangkap Tommy Soeharto berkat
pengembangan-pengembangan dari pada saksi, pelaku, dan barang bukti yang selama
ini dimiliki oleh kepolisian. Setelah tertangkap, Tommy dengan pengawalan ketat
segera dibawa ke Markas Polda Metro Jaya sekitar pukul 18.25 WIB.
Penangkapan itu dilakukan di Jalan
Maleo II Nomer 9, Jakarta. Tito selaku pimpinan dalam penyelidik dan pencari
Tommy, mengakui mendapatkan pola komunikasi yang kerap dilakukan dari empat
tempat, yakni di Menteng, Pondok Indah, Bintaro, dan Pejaten. Anggota tim yang
terlibat dalam pencarian itu, memantau nyalanya sinyal telepon, merekam
pembicaraan telepon, dan menelusuri lembaran-lembaran hubungan komunikasi.
Pemantauan dan penyadapan komunikasi tersebut berlangsung efektif sekitar tiga
bulan sebelum penangkapan dan mendapatkan banyak barang bukti kaset rekaman
telpon.
Dalam kronologinya, Polri mengaku
Tommy sudah masuk ke rumah yang beda di Jalan Maleo II nomer 9, Jakarta, sudah
sejak tiga hari sebelum penangkapan. Sejak saat itu, polisi melakukan
pengawasan 1x24 jam dari segala jurusan yang melintas jalan tersebut. Kepada
beberapa warga yang terpaksa harus mereka tanya untuk memperoleh informasi
situasi rumah tersebut, polisi mengaku warga sekitar sedang mengintai orang
yang diduga sebagai pengedar narkotika dan ganja. Hal yang menarik dalam
penangkapan Tommy, tim tidak langsung menyerbu rumah itu, karena ikut-ikutan
memakai saran paranormal. Paranormal, meramalkan hari Rabu merupakan hari sial
Tommy, maka itu tim melakukan pengerebekan pada hari Rabu.
Ketika penangkapan, polisi masuk
Rabu sore melalui belakang rumah yang ditinggali Tommy, dengan melewati pagar
yang tingginya sekitar empat meter. Penangkapan tersebut bisa terlaksana karena
ada kerja sama dengan Ny Hasan selaku pemilik rumah. Setelah polisi berada di
rumah yang diduga terdapat Tommy, polisi segera melakukan penyisiran di rumah
itu. Kurang lebih ada 20 orang yang polisi yang terlibat dalam penangkapan
tersebut. Menurut keterangan Danang salah seorang polisi yang pertama kali
menemukan Tommy, Tommy berada di kamar nomer 3 dari rumah tersebut dan berada
di lantai 1. Total kamar yang berada di rumah itu terdapat 7 kamar di lantai 1.
Ketika itu Danang, melihat ada seseorang yang sedang tertidur di kamar nomer 3,
ia segera menuju kamar tersebut dan tidak membangunkan orang tersebut. Setelah
melihat dan menyakini itu Tommy, ia segera mengarahkan pistol ke Tommy dan
membangunkannya. Menurutnya, Tommy tersentak bangun dan berusaha menghampiri
Danang yang lalu berjalan mundur, untuk menjaga jarak dengan Tommy. Ketika
penangkapan tersebut Tommy mengatakan, “Tenang-tenang, mari kita damai, mari
kita damai. Saya tidak akan melawan. Saya bukan musuh polisi, saya begini
karena sakit hati
dengan GD.”
Setelah menemukan Tommy di kamar
nomer 3, Danang segera berteriak, “ada Tommy. Ada Tommy.” Mendengar teriakan
tersebut, anggota tim lainnya segera berdatangan masuk ke kamar tersebut.
Ketika penangkapan, Tommy menggunakan kaus putih dan bertampang sangat memelas.
Dalam penggeledahan
tersebut, polisi tidak menemukan orang lainnya, atau menemukan senjata api atau
bahan peledak.
Dengan tertangkapnya Tommy, bukan
berarti kerja Polri sudah selesai. Setidaknya ada tiga tugas berat yang harus
dihadapi oleh Polri pascatertangkapnya Tommy. Pertama, Polri harus segera
membuktikan keterlibatan Tommy dalam pembunuhan hakim agung Syafiuddin
Kartasasmita. Kedua, Polri harus segera membuktikan keterlibatan Tommy dalam
serangkaian kasus bom, karena teror bom masih terus mengacam masyarakat,
khususnya masyarakat Jakarta. Ketiga,
Polri harus segera membuktikan, Tommy telah bekerja sama dengan GAM dalam
melakukan teror bom.
Setelah delapan bulan pasca
penenangkapan Tommy Soeharto, ia harus mengikuti persidangan dengan kasus
dugaan kasus yang dituduhkan ke dirinya. Setelah melewati sidang yang cukup
panjang, Tommy Soeharto pada Senin, 15 Juli 2002, ia dinyatakan terbukti
melakukan empat tindakan pidana dan dituntut 15 tahun penjara oleh Jaksa
Penuntut Umum (JPU),
Hasan Madani. Keempat tindak pidana yang dinyatakan, Tommy terbukti memiliki
senjata api beserta amunisi di Apartemen Cemara dan di sebuah rumah di Jalan
Alam Segar, Tommy juga terbukti menganjurkan pembunuhan berencana atas diri
hakim agung Syafiuddin Kartasasmita, dan ia terbukti merintangi pegawai negeri
sipil menjalan eksekusi.
Berkaitan dengan tuntutan tersebut,
dinilai oleh sebagian orang terlalu ringan. Dua anggota DPR, yakni Hamdan
Zoelva dan Sjaiful Rachman, Tommy terbukti melalukan perbuatan tindak pidana
tersebut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor
12/Darurat/1951, Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 12/Darurat/1951, Pasal 340, 55 Ayat (1) ke-2
KUHP dan Pasal 216 KUHP dalam surat dakwaan kesatu, kedua, ketiga, dan keempat.
Setelah mendapatkan putusan tersebut, Tommy akan menempati hotel baru di LP
Batu Nusakambangan.
Penulis : Duta
Editor: Kuma