Drama Tommy Soeharto, Korupsi, Pembunuhan Hakim Agung, dan Kepemilikan Senjata Berbahaya.


Keterangan: Tulisan ini merupakan riset dari artikel-artikel media cetak/online yang relevan (seperti: Kompas, Nasional.Tempo.Co, Liputan6.com, Kumparan, dan Tirto.Id) dan didukung oleh keilmuan penulis yang didapatkan ketika di Kampus. Tulisan ini dikerjakan karena muncul rasa penasaran penulis ketika menyaksikan di televisi, Tommy Soeharto disindir oleh pewawancara soal keterlibatannya dalam kasus pembunuhan hakim agung. Keingin tahuan penulis tentang kasus tersebut, mendorong penulis untuk melakukan investigasi mengenai kasus tersebut. Penulis juga tidak menampik bahwa tulisanya masih terdapat banyak kekurangan. Terahir, semoga tulisan ini bermanfaat untuk menambah wawasan atau sekedar mengisi kekosongan waktu.

September 2000, Majelis Hakim Agung yang diketuai M Syafiuddin Kartasasmita telah memutuskan hukuman Tommy Soeharto dan Direktur Utama PT Goro Batara Sakti, Ricardo Gelael. Keduanya diketahui tersangkut dalam perkara korupsi tukar guling tanah (ruilslag) gudang beras milik Badan Urusan Logistik (Bulog). Atas perbuatannya tersebut, Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael dikenakan hukuman masing-masing 18 bulan penjara dan denda masing-masing sebesar Rp 10 juta. Selain itu, keduanya juga diwajibkan membayar sejumlah uang yang sesuai dengan bukti kerugian negara, yaitu Rp 96,6 miliar.
Tidak hanya Tommy dan Ricardo, ada nama lain dibalik kasus korupsi tukar guling tanah, seperti Kepala Bulog, Beddu Amang, dan pengusaha rekanan penyalur Bulog, Hokiara. Namun, pada 19 April 1999, Beddu Aman dinyatakan bebas oleh majelis hakim karena dakwaan yang disusun Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak lengkap. Untuk Hokiara pada masa itu, belum diketahui status perkaranya.
Adapun proses pertimbangan yang memberatkan dalam kasus ini adalah Tommy yang dinilai berbelit-belit. Tommy terlihat tidak berniat untuk ikut mengembalikan kerugian negara. Tommy juga tidak berniat menyediakan asset pengganti, karena memang tidak merencanakan atau mengganggarkan dana untuk itu. Sementara untuk hal-hal yang meringankan dalam kasus ini, Tommy bersikap sopan dalam persidangan, Ia tergolong masih muda sehingga masih dapat memperbaiki dirinya, dan sebelumnya pun Ia belum pernah dihukum. Selain itu, walaupun memberi keterangan berbelit-belit, dalam penampilannya tampak rasa menyesal. Namun, hal berbeda dilakukan oleh Ricardo Gelael, ia lebih bersifat kooperatif terhadap sidang dan berniat untuk menganti kerugian negara.
Menurut penasihat Hukum Tommy, Nadirman Munir, keputusan hukuman penjara dan ganti rugi adalah diskriminasi palayanan hukum oleh Mahkamah Agung (MA), karena ia merasa di MA pada masa itu ada ribuan kasus dan mengapa kasus Tommy yang di ubek-ubek. Nadirman Munir menambahkan, kasus ini sangat kental akan muatan politik. Tidak hanya itu, menurut kuasa Hukum Tommy Soeharto lainnya, Marzuki, mereka akan mengajukan peninjauan kembali (PK). Meskipun banyak yang bilang PK akan mengganggu eksekusi kasus tersebut, Marzuki, berpendapat dalam Pasal 268 Ayat (1) KUHP tentang permintaan peninjauan kembali atau suatu putusan tidak menangguhkan maupun mengehentikan pelaksaan dari putusan tersebut, atau dalam kalimat lain PK tidak menunda eksekusi, karena eksekusi sepenuhnya wewenang Kejaksaan. Tidak hanya Tommy Soeharto yang akan mengajukan PK, dari pihak Ricardo Geael juga akan mengajukan PK. Ricardo Gelael menganggap, bahwa ia tidak bersalah dalam perkara ini dan ingin menempuh upaya terahir, dengan mengajukan bukti-bukti yang dapat meyakinkan MA bahwa dirinya tidak bersalah.
Menurut Direktur Pidana MA, Djoko Sarwoko, MA memprioritaskan untuk menangani kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang melibatkan keluarga Cendana. Hal itu dilakukan untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan mendukung program permerintah dalam upaya mengungkap kasus KKN sebagai salah satu langkah menegakan supremasi hukum. Selain itu, ia membenarkan bahwa di MA memang ada sekitar ratusan permohonan kasasi yang belum diproses.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Antasari Azhar, berpendapat jika Tommy Soeharto ingin mengajukan PK, maka pihak kejaksaan akan melakukan ekseskusi secepatnya karena pengajuan PK tidak menunda eksekusi. Akan tetapi, jika terdakwa mengajukan grasi ke Presiden, kemungkinan eksekusi tidak dapat langsung dilaksanakan. Pengajuan grasi biasanya disertai dengan permohonan penangguhan putusan. Dalam hal ini, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang akan memutuskan apakah akan menerima permohonan penangguhan atau tidak.
Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 2000, Amin Aryoso, menyambut positif putusan MA. Bahkan ia mengatakan, “Peradilan telah menangkap roh reformasi.” Tidak hanya itu, ia juga meminta agar Jaksa Agung segera melaksanakan putsan MA tersebut dan memuji hakim Syafiuddin Kartasasmita yang berani mengambil keputusan yang adil meski dengan resiko besar. Senada dengan Amin Aryoso, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia tahun 2000, Yusril Ihza Mahendra, turut mendorong agar terdakwa segera melaksanakan hukumuan yang telah ditetapkan oleh Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita karena pemerintah tidak akan melalukan kompromi.
Setelah keputusan bersalah ditetapkan ke Tommy Soeharto dan Ricardo Geael, muncul reaksi mahasiswa dengan melakukan unjuk rasa di Jalan Cendana, rumah Tommy Soeharto. Reaksi tersebut juga diperhatikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, ia menegaskan tentara tidak berhak melarang mahasiswa untuk berunjuk rasa di Jalan Cendana. Sebab, tugas aparat keamanan di Jalan Cendana hanya menjaga rumah mantan penguasa Orde Baru, Soeharto dan bukan melarang mahasiswa untuk melakukan unjuk rasa karena sekarang bukan zaman Orde Baru. Ia juga mengemukakan, kalau mahasiswa diajak berbicara dengan baik, dipastikan mahasiswa akan bisa menerima demonstrasi cukup di jalan sana.
“Ya paling tinggi, nanti mereka pakai batu nyambitin kaca-kaca jendela (rumah Soeharto). Biar saja, kan (Soeharto), korupsinya banyak,” ujar Presiden. 
Munculnya reaksi bukan hanya dikalangan mahasiswa, namun masyrakat itu memunculkan reaksi terhadap kasus tersebut. Hal itu dikemukakan oleh pengamat politik dan peneliti senior pada Research Institute for Democracy and Peace (Ridep), Soedjati J Djiwandono. Menurut Soedjati, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan mengalami peningkatan jika kasus tersebut dieksekusi hingga masuk penjara, sesuai dengan putusan majelis hakim agung. Dengan dieksekusinya Tommy akan memberi dampak psikologis yang besar ke masyarakat dan meningkat kepercayaan terhadap pemerintah. Ia menambahkan, bahwa yang diinginkan masyarakat adalah kepastian dan keberanian pemerintah terhadap penegakan hukum untuk kasus-kasus besar.

Grasi dan Peninjauan Kembali (PK)
Tommy Soeharto akhirnya meminta maaf dan meminta grasi dari Presiden. Grasi diatur dalam Pasal 14 Perubahan Pertama UUD 1945 yang berisi Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.    Meski memohon grasi, Tommy tetap merasa tidak bersalah. Dalam suratnya kepada Presiden, Tommy juga tidak menyatakan penyesalannya atas terjadinya kasus tukar guling tanah (ruilslag) milik Badan Urursan Logistik (Bulog) ke PT Goro Batara Sakti yang telah merugikan negara. Tidak hanya itu, dalam surat permohonan grasi, Tommy tidak menyinggung soal kewajiban mengembalikan uang negara. Hal berbeda dilakukan oleh Ricardo yang secara tegas, sebagai bentuk perwujudan penyesalan, ia secara pribadi telah mengembalikan uang negara sejumlah kurang lebih Rp 14 miliar.
            Tommy beranggapan, dalam kasus itu ia berniat melakukan perjanjian ruilslag dengan Bulog semata-mata untuk membantu pemerintah meningkatkan pembangunan perdagangan bersama badan koperasi. Ia menambahkan, bahwa secara tulis tidak ada kesengajaan untuk melalukan pelanggaran, baik secara pribadi maupun selaku Komisaris Utama PT Goro Batari Sakti, sehingga berakibat terjadinya kasus tersebut.
            Langkah selanjutnya, Tommy ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta untuk menyampaikan surat permohonan grasi dan permohonan penangguhan eksekusi. Permohonan grasi Tommy telah tercatat di registrasi PN Jakarta Selatan dengan Nomor 05/Pid/Grasi/PN Jaksel. Setelah mengunjungi PN, Tommy yang didampingi oleh tim penasehat hukum, antara lain Bob Nasution, Nudirman Munir, LLM Samosir, dan Erman Umar, ke Kantor Kejari Jaksel. Kedatangannya tersebut untuk memenuhi panggilan Kepala Kejari berkaitan dengan putusan majelis hakim agung yang diketuai Syafiuddin Kartasasmita yang menghukum Tommy 18 bulan penjara.
         Namun, dalam tim penasihat hukum Tommy Soeharto memiliki perbedaan pendapat. Perbedaan terjadi antara Samosir yang mengatakan bahwa penasihat hukum Tommy akan segera mengajukan penunjauan kembali. Namun penasehat hukum lainnya, Bob Nasution, menyangkal Tommy akan mengajukan PK, ia beranggapan bahwa tim penasehat hukum Tommy hanya akan mengajukan grasi. Antasari Azhar, selaku Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menganggap meskipun dalam undang-undangan tidak mengatur bahwa seseorang yang telah mengajukan grasi tidak boleh mengajukan PK, secara logika hukum hal tersebut patut dipertanyakan karena terdapat ketidakkonsistenan sikap jika mengajukan grasi dan PK. Ketidakkonsistenan terjadi karena grasi mengandung pengakuan bersalah, sedangkan PK adalah perlawanan terhadap putusan hakim yang menyebutkan seseorang bersalah. Sementara itu Wakil Ketua PN Jaksel, Soemarno, mengatakan pada dasarnya pengajuan grasi dan PK dibenarkan karena tidak ada produk hukum yang mengatur tentang larangan bagi terpidana mengajukan kedua upaya hukum. Namun lazimnya, permohonan PK disampaikan setelah terbitnya Keppres mengenai permohonan grasi. Apabila PK diajukan sebelum terbitnya grasi, tentu saja konsekuensi yuridisnya seorang terpidana harus melaksanakan putusan dengan kata lain terlebih dahulu dieksekusi.
            Kepala Divisi Oprasional Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Daniel Panjaitan, pada tahun 2000 berpendapat mengenai grasi yang diajukan Tommy, ia mengharapkan Presiden Abdurrahman Wahid menolak permohonan grasi yang diajukan Tommy Soeharto. Sebab, jika permohonan grasi itu diterima, hal itu akan mendorong tersangka perkara korupsi lainnya untuk mengajukan grasi dan menghindarkan diri dari pemenjaraan.
      Ketika ditanya oleh wartawan mengenai permintaan grasi Tommy Soeharto, Presiden Abdurrahman Wahid menjawab singkat, “Tidak, tidak.” Presiden beranggapan bahwa kasus tersebut agar berjalan sesuai keputusan MA. Ia menambahkan bahwa kasus ini bukan persoalan suka atau tidak suka terhadap seseorang. Ini persoalan hukum. Jadi, sepenuhnya ada di tangan Jaksa Agung. Namun pernyataan lisan Presiden tidak dapat digunakan sebagai dasar bagi kejaksaan untuk melakukan eksekusi. Kejaksaan hanya dapat melakukan tugasnya sebagai eksekutor setelah ada Keputusan Presiden (Keppres) yang menyatakan menolak permohonan grasi Tommy.
         Sementara itu, Antasari Azhar membenarkan bahwa keterangan lisan Presiden tidak bisa menjadi dasar untuk mengeksekusi. Ia menambahkan, Kejaksaan masih menunggu turunnya Keppres penolakan atas permohonan grasi Tommy, karena membutuhkan nomor grasi. Tidak hanya itu praktisi hukum Abdul Hakim Garuda Nusantara berpendapat, pernyataan Presiden yang tidak akan memberikan grasi kepada Tommy Soeharto menandakan Presiden kurang mengerti prosedur grasi, karena Presiden harus mendapatkan pertimbangan dari MA. Ia menambahkan, penolakan Presiden, harus jelas pertimbangannya apa, kalau dikabulkan pertimbangannya apa, tidak bisa begitu saja. Selain itu, Jaksa Agung Marzuki Darusman berpendapat senada dengan Abdul Hakim Garuda, ia berpendapat sebaiknya Presiden mempertimbangkan kepetingan umum yang lebih luas untuk menentukan apakah permohonan grasi Tomy Soeharto bisa diberikan atau tidak. Prosedur pengajuan grasi tidak rumit karena yang bersangkutan bisa mengajukannya ke Pengadilan Negeri setempat, kemudian dibawa ke MA untuk diteruskan kepada Presiden melalui Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM).
           Namun hal sedikit berbeda disampaikan Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan bahwa dikabulkan atau tidaknya permohonan grasi yang diminta Tommy Soeharto sepenuhnya terserah Presiden. Ia menambahkan, Presiden memang akan meminta pertimbangan pada MA maupun Menteri Kehakiman dan HAM sebelum memutuskan apakah menerima atau menolak permohonan grasi. Namun, kewenangan menerima atau menolak tetap berada sepenuhnya di tangan Presiden. 
           Sementara itu, Sekeretariat Jendral (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sekaligus Wakil Ketua DPR, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, menyarankan agar Presiden tidak memberikan grasi kepada Tommy Soeharto. Alasannya, pemberian grasi tersebut akan menyakitkan rasa keadilan rakyat yang menghendaki Tommy dihukum atas kesalahan yang dilakukannya. Tidak hanya itu, di Gedung MPR/DPR Cak Imin juga menyatakan mendukung agar Presiden tidak memberi grasi kepada Tommy. Sementara itu Ketua Komisi II DPR, Amin Aryoso, yakin Presiden akan bersikap arif dalam memutuskan apakah memberi grasi atau menolak grasi bagi Tommy. Amin Aryoso menambahkan, ia yakin Presiden dalam memberikan grasi akan memperhatikan aspirasi masyarakat yang ingin Tommy dihukum.
            Dari sudut pandang penasihat hukum Tommy Soeharto, Nudirman Munir, menyatakan ia terkejut atas pernyataan Presiden dengan penolakan secara lisan. Meski sudah menduga sebelumnya, Nudirman tidak menyangka Presiden akan mengambil keputusan secepat itu. karena kliennya telah mengajukan permohonan grasi sesuai prosedur hukum, keputusan Presiden juga harus berada pada koridor hukum yang berlaku. Nada tidak menerima keputusan keterangan lisan Presiden juga diungkapkan oleh Nurdiman Munir, ia menyatakan keputusan Presiden jelas kental dengan nuasa politiknya.
            Sementara itu, Presiden Abdurrahman Wahid mengakui bertemu dengan terpidana Tommy Soeharto. Dalam pertermuan tersebut Tommy meminta agar vonis dirinya ditinjau kembali. Namun Presiden mengatakan, kasus tersebut merupakan urusan MA dan bukan urusan Presiden, jadi tidak ada Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN). Peristiwa tersebut tidak dijelaskan kapan terjadinya, namun beberapa sumber menyebutkan pertemuan itu berlangsung tanggal 7 Oktober 2000 di Hotel Borobudur, Jakarta.
Juru bicara Kepresidenan, Yahya Staquf, menilai kesedian Presiden bertemu dengan Tommy Soeharto di Hotel Borobudur merupakan sikap seorang Presiden yang selalu bersedia mendengarkan siapa saja tetapi Presiden tidak akan meninggalkan prinsip kebenaran. Ia juga menambahkan, pertemuan tersebut bisa terjadi karena ada permintaan Tommy untuk bertemu Presiden dan Presiden bersedia memenuhi permintaan tersebut.
      Pada 02 November 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menandatangani Keppres No 176/G/2000 tentang penolakan grasi yang diajukan terpidana Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael yang sebelumnya juga sudah mendapatkan penolakan dari Presiden secara lisan. Keputusan menandatangani penolakan grasi terjadi setelah Mentri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, dan Jaksa Agung, Marzuki Darusman, bertemu Presiden. Setelah penandatanganan Keppres penolakan tersebut, Yusril menyatakan, tidak ada alasan untuk tidak menolak grasi yang diajukan Tommy Soeharto, karena pihaknya telah memerika semua berkas perkara dan mereka berkesimpulan tidak ada alasan untuk memberikan grasi. Mekipun pihak Tommy Soeharto mengajukan PK, menurut Yusril, PK sama sekali tidak akan menangguhkan eksekusi atau dalam kata lain menunda eksekusi.
         Keputusan Presiden dengan menolak grasi untuk Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael mendapat dukungan dari ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Akbar Tandjung. Akbar Tandjung menilai, keputusan Presiden Abdurrahman Wahid menolak grasi Tommy merupakan langkah yang konsisten dan mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat banyak. Selain itu, Akbar Tandjung juga berpendapat, dengan ditolaknya grasi Tommy, maka prasangka buruk bahwa Presiden melakukan deal dengan Tommy ketika pertemuan di Hotel Borobudur, akan terhapus dengan sendirinya. Hal senada juga disampaikan Ketua Komisi II DPR, Amin Aryoso, ia menyambut baik sikap tegas Presiden dan secara tidak langsung Presiden menyatakan perang terhadap KKN.
        Jaksa Agung Marzuki Darusman yakin Tommy Soeharto akan mematuhi eksekusi yang dijatuhkan kepadanya. Apabila yang bersangkutan tidak memenuhi panggilan, pihak Kejaksaan dapat menjemput atau mengambilnya secara paksa. Tidak hanya itu, menurut Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Soemarno, dengan keputusan Presiden yang menolak permohanan grasi Tommy dan Ricardo, dengan sendirinya penangguhan eksekusi tidak berlaku lagi.  Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Antasari Azhar, menambahkan pihaknya setelah menerima salinan Keppres, akan mengeksekusi Tommy dan Ricardo.
           Dari sudut pandang penasihat hukum Tommy Soeharto, Nurdirman Munir, mengatakan bahwa jaksa tidak bisa langsung mengeksekusi Tommy hanya lantaran sudah menerima salinan Keppres. Selain itu, mereka juga harus menunggu sampai Tommy Soeharto menerima salinan Keppres, jaksa harus menunggu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mencabut penetapan penangguhan eksekusi atas diri Tommy. Nurdiman menambahkan keputusan itu sangat tidak adil, ia menanggap bahwa Tommy Soeharto tidak merugikan negara sepeserpun.
Hal berbeda disampaikan oleh penasihat hukum Ricardo Gelael, Panji Prasetyo, mereka menerima keputusan Presiden. Namun, Panji hanya akan meminta eksekusi agar dilakukan pada tanggal 06 November 2000. Hal itu semata-mata untuk alasan kemanusiaan, karena Ricardo ingin berkumpul dengan keluarga dan anaknya yang akan ulang tahun pada tanggal 04 November 2000.
Setelah Keppres penolakan grasi Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael, Dirjen Pemasyrakatan, Adi Suyatno, mengatakan Lembaga Pemasyrakatan (LP) Cipinang telah siap menerima terpidana kapan pun dan tidak ada perlakukan khusus untuk keduanya. Dari sumber petugas di LP Cipinang, Tommy Soeharto maupun Ricardo Relael akan menempati sel yang pernah digunakan Joko Sugiarto Tjandra dan Rudy Ramli.

Tommy Buron
Terpidana Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, hinggal tanggal 4 November 2000 pukul 00.10, masih dicari oleh pihak Kejaksaan. Selanjutnya Pihak Kejaksaan akan membuat surat penggeledahan untuk mencari dimana keberadaan Tommy dan ketika itu Tommy berstatus sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO). Antasari Azhar menilai adanya kesan Tommy menghindari eksekusi. Antasari meminta tolong masyrakat agar yang mengetahui keberadaan Tommy segera melapor ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Tidak hanya itu, pihaknya sudah mengeluarkan surat perintah penangkapan Tommy Soeharto dan sudah memantau beberapa tempat yang kemungkinan ada Tommy, yaitu di Taman Mini atau kemungkinan di Solo.  Tidak hanya itu, pihak Kejaksaan juga melakukan koordinasi yang cukup baik dengan kepolisian.
Sikap berbeda ditunjukan oleh Ricardo Gelael, Jumat 3 November 2000 pukul 19.20 WIB. Ia didampingi pengacaranya, Maqdir Ismail dan Panji Prasetyo, sampai di Kejari Jaksel. Ricardo juga menyampaikan, ia menerima keputusan dan tidak akan kabur. Namun yang disayangkan olehnya, keputusan ini begitu mendadak. Keluarganya masih goyang. Ibunya kena serangan jantung di rumah Ricardo. Selain itu, ia juga mengungkapkan rasa sedihnya terhadap keputusan tersebut. Namun, ia menganggap bahwa ini sudah menjadi resiko yang harus ditanggungnya. Sementara itu, kedatangannya ke Kejari karena ia mendapatkan informasi dari televisi dan memutuskan untuk segera mendatangi Kejari, karena tidak ingin menyusahkan keluarganya. Berkaitan dengan penangguhan eksekusi Ricardo, Antasari mengakui sudah meminta permohonan dari Ricardo. Akan tetapi, Ricardo sudah mendapat pengertian agar tetap menjalankan eksekusinya. Setelah mendatangi Kejari, pada Jumat, 3 November 2000 pukul 21.50, Ricardo Gelael resmi menghuni sel di Blok IV A LP Cipinang.

Peluru Tewaskan Hakim Agung
Ketua Muda Pidana Umum Mahkamah Agung, Syafiuddin Kartasasmita, pada Kamis, 26 Juni 2001 tewas ditembak dua pengendara sepeda motor yang menghadangnya di Jalan Sunter Jaya, Keluarahan Serdang, Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat. Ia ditembak saat hendak pergi ke kantor pukul 08.30 WIB. Menurut Kepala Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Pusat, Komisasris Besar Mathius Salempang, pihaknya belum bisa memastikan pembunuhan tersebut berkaitan dengan jabatan yang disandang oleh Syafiuddin.
            Hari pertama pembunuhan Syafiuddin, polisi langsung konsentrasi melakukan penyelidikan di tempat kejadian perkara di Jalan Suntar Jaya, Jakarta Pusat. Kepala Kapolda Metro Jaya, Irjen Sofjan Jacoeb, Kepala Direktorat Reserse Komisaris Besar, Adang Rochjana, Kapala Polres Jakarta Utara, Komisaris Besar Matius Salempang, Kepala Satuan Reserse Umum Komisaris, Tito Karnavian, dan belasan perwira di jajaran Polda Metro turun langsung ke tempat kejadian. Ketika itu juga, Sofjan Jacoeb membentuk tim khusus untuk mengungkap kasus tersebut.
 Selain itu, Kepala Kepolisian Sektor (Polsek) Metro Kemayoran Herry R Nahak, para pelaku sudah mengintai korban sejak mobil korban meninggalkan rumahnya. Kedua pelaku tampaknya memepet dan menembak dua kali dari arah kanan, pada saat mobil Syafiuddin melintas di dekat Jembatan Pintu Air, yang menghubungkan Jalan Sunter Kemayoran dengan Jalan Bendungan Jago. Satu peluru mengenai batang jendela dan satu lagi memecahkan kaca jendela di samping korban. Peluru yang memecahkan kaca itu diperkirakan langsung mengenai bagian bawah telinga kanan korban tembus ke rahang kiri.
Setelah tertembak, mobil langsung oleng dan lepas kendali, melewati Jembatan Pintu Air, menyerong, serta langsung menyerempet dan menabrak tiga tempat usaha warung. Mobil korban tidak hanya menabrak warung, tetapi juga menyerempet Rozali yang tengah membeli rokok di warung, Abdul Latip, dan Dedi Suprdi yang tengah membereskan kursi warung. Luka terparah dialami oleh Rozali, ia harus dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) karena luka di bagian muka, dada, dan tangan.
Sebelum berhenti, motor penjahat itu tetap mengejar dan menyalip mobil korban. Motor berhenti sekitar dua meter dari mobil korban. Salah satu pelaku yang berada di motor turun, menghampiri mobil Syafiuddin sambil menembak tiga kali mengenai kaca depan mobil. Penjahat yang berkaus putih, bertopi pet, dan sebagian wajahnya ditutup sapu tangan warna gelap sekali lagi menembak. Tembakan itu mengenai bahu kanan korban tembus ke punggung. Sementara itu teman pelaku yang masih berada di motor, dengan tangan kiri memegang pistol dan menodongkan ke beberapa orang yang berada di sana. Sebelum melarikan diri, para pelaku menembak sebanyak dua kali ke udara dan segera kabur.
Menurut praktisi hukum Dr. Todung Mulya Lubis, ia beranggapan bahwa kasus ini merupakan bentuk teror terhadap penegakan hukum. Hal itu terjadi karena Syafiuddin terkenal sebagai hakim agung yang dikenal bersih serta tegas terhadap koruptor. Ia juga meyakini, penembakan Syafiuddin bukan tindakan kriminal belaka, melainkan terkait perkara yang sedang serta sudah ditanganinya. Syafiuddin merupakan Hakim Agung yang mengadili perkara Tommy Soeharto, Mohammad “Bob”, dan mantan Presiden Soeharto. Hal senada juga dikemukankan oleh hakim agung R Suni Wahadi, ia mengatakan bahwa Syafiuddin pernah mengatakan kalau ditawari uang sebesar Rp 20 Miliar berkatian dengan satu kasus korupsi yang ditanganinnya. Namun Syafiuddin tidak menerima tawaran tersebut.
Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Adang Rochjana, menyatakan kasus ini berkaitan dengan fungsi dan jabatan almarhum. Hal tersebut ia ungkapkan dari hasil pemeriksaan puluhan saksi, termasuk karyawan atau pejabat di MA. Ia menilai belum ada indikasi adanya masalah keluarga, dan bukan perampokan dengan maksud mengambil harta korban. Tidak hanya itu Syafiuddin memang menjadi target untuk “dilenyapkan”, berkaitan dengan jabatan atau fungsinya sebagai hakim agung muda. Meskipun sudah mendapatkan titik terang, Adang dan pihaknya masih meminta waktu untuk bisa melalukan penyelidikan secara tenang dan jernih. Ia juga meminta semua pihak agar bersabar dan memberi kesempatan kepada kepolisian untuk bekerja secara efektif.
Bukan Syafiuddin saja yang mendapatkan teror, namun Antasari Azhar juga. Teror yang dialami Antasari terjadi pada 30 Juli 2001 sekitar pukul 20.00 WIB dan 21.30 WIB. Ia ditelfon oleh seseorang yang mengatakan bahwa “hakimnya sudah mati, tinggal jaksa dan Kejarinya (Kepala Kejaksaan Negeri).” Teror yang dialami Antasari tidak hanya ketika ia di rumah. Si penelfon kembali menelfon ke kantor Antasari dan mengatakan, bahwa si penelfon mengetahui setiap keberadaan Antasari, bahkan ia sampai mengetahui mobil yang biasa digunakan oleh Antasari. Bisa dikatakan, Antasari mendapat empat kali telfon yang bernada ancaman. Namum, pihak kepolisian belum bisa memastikan teror yang dialami oleh Antasari ada kaitannya dengan terbunuhnya hakim agung Syafiuddin atau tidak. Ada pihak lain yang mengatakan bahwa teror yang dialami oleh Antasari berkaitan dengan terbunuhnya Syafiuddin. Karena dalam kasasi Tommy majelis hakim agung yang diketuai Syafiuddin memutuskan menghukum Tommy dengan hukuman pidana 18 bulan penjara dan membayar denda serta membaya sejumlah uang untuk ganti rugi keuangan negara. Atas putusan itu, Antasari selaku Kejadi Jaksel bertindak sebagai pihak yang melaksanakan putusan tersebut.
Ketika melaksanakan putusan tersebut, Antasari dan Jaksa Penuntut Umum, Fachmi, gagal mengeksekusi Tommy karena Tommy melarikan diri yang hingga tanggal 30 Juli 2001 masih belum ditemukan. Selanjutnya, berbagai upaya dilakukan Antasari untuk melaksanakan putusan kasasi MA tersebut, antara lain dengan menyita tanah dan rumah Tommy untuk mengantisipasi jika nanti Tommy tidak mau membayar uang ganti rugi yang seharusnya dibayar Tommy kepada negara.

Dugaan Kasus Baru.
Petugas dari Polda Metro Jaya, Senin 6 Agustus 2001, berhasil menyita sembilan pucuk senjata api terdiri atas empat senjata laras panjang, lima laras pendek, ratusan peluru berbagai ukuran, 22 granat manggis, serta rangkaian bom yang terdiri atas bahan peledak, detonator, timer, 13 telepon seluler, dan 74 dinamis aktif dan siap dirangkai. Benda-benda berbahaya tersebut diperoleh dari oprasi penggeledahan di Apartemen Cemara di Menteng, Jakarta Pusat, dan rumah tinggal di Jalan Alam Segar III No 23, Pondok Indah, Jakarta Selatan.
        Menurut Kepala Polda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Sofjan Jacoeb, yang didampingi Panglima Kodam Jaya Mayjen Bibit Waluyo, semua barang berbahaya tersebut milik orang-orang suruhan Tommy Soeharto. Mereka adalah Ferry Ukong, Dedi, Dodi Harjito, Hetty Siti Handika, Agus Dias, Martunus, Romi, dan Edwin. Selain menemukan benda-benda berbahaya tersebut, Kepolisian juga menemukan data dan dokumen yang diperoleh. Data tersebut menunjukkan Ferry Ukong dan Dedi telah menggambar lokasi, rumah, rute, mobil yang biasa digunakan hingga kebiasaan hakim agung. Polisi juga menemukan bukti-bukti dokumen rencana membunuh tiga hakim agung. Tiga hakim agung itu adalah almarhum hakim agung Syafiuddin Kartasasmita, hakim agung Sunu, dan hakim agung Paulus Lotulung. Berkaitan dengan penemuan bukti tersebut, pihak kepolisian langsung memberikan perlindungan 24 jam ke tiga hakim yang mendapat ancaman. Tidak hanya itu, Sofjan juga memberikan waktu kepada Tommy Soeharto agar secepatnya menyerahkan diri. Kalau Tommy tidak menyerahkan diri, pihak Kepolisian akan ambil tindakan tegas dan keras.
          Menurut Sofjan, dokumen juga menjukkan ada surat yang menyebut kemungkinan keterlibatan Tommy dengan GAM melalui Ferry Ukong dan kawan-kawan. Namun, tidak dijelaskan arti GAM yang Ia maksud. Tidak hanya itu, pengadaan sejanta api dan bahan-bahan peledak itu dilakukan oleh Tommy Soeharto. Sofjan mengatakan, senjata tersebut diperoleh dari Afganistan, melalui seseorang yang menggunakan nama samaran Muhammad Karim. Menurut Sofjan, ketika penemuan semua barang bukti, polisi langsung mengembangkan nama-nama tersangka apakah ada keterkaitan dengan GAM atau tidak. Sofjan menambahkan, tidak ada keterlibatan oknum anggota TNI dalam aksi teror dan peledakan bom.
            Dugaan Tommy terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dibantah keras oleh Teungku Amri bin Abdul Wahab yang merupakan Komandan Oprasi Komando Pusat Angkatan Gerak Aceh Merdeka. Ia mengatakan bahwa ayah Tommy adalah musuh bebuyutan mereka. Jadi, sangat mustahil kami mau bekerja sama dengan keluarga mereka. Ia juga menyampaikan kritik terhadap kepolisian karena menuding polisi di Jakarta tidak professional dan hanya mudah menjadikan GAM sebagai kaming hitam tanpa ada satu penyelidikan yang tuntas.
Tidak hanya itu, pada tanggal 06 Agustus 2001, Kepala Kepolisian RI Jenderal, (Pol) Suroyo Bimantoro, mengatakan bahwa pihak kepolisian sudah menangkap dua pembunuh hakim agung Syafiuddin dengan nama Mulawarman dan Noval dari kalangan sipil. Dengan penangkapan tersebut, polisi akan mengembangkan kasus ini mengenai siapa yang menyuruh dan sebagainya. Kedua pelaku berada dalam tahanan Polda Metro Jaya.
Dalam pengembangannya, pelaku mengaku pembunuhan itu atas perintah Tommy Soeharto dengan upah masing-masing Rp 50 juta. Tidak hanya itu, dalam pengembangannya kasus pembunuhan hakim agung dan penemuan barang-barang berbahaya di rumah kontrakan Tommy Soeharto, polisi juga menduga ada kesamaan antara bom di Plaza Atrium Senen dengan bahan peledak yang ditemukan di Jalan Alam Segar III No 23, Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Sementara itu, kuasa hukum Tommy Soeharto, Nudirman Munir, menyayangkan pertanyaan Kepala Polda Metro Jaya, Inspektur Jendral Sofjan Jacoeb, yang langsung menyatakan bahwa peledakan bom yang terjadi ketika itu di Jakarta, dan terbunuhnya hakim agung Syafiuddin, ada kaitannya dengan Tommy Soeharto. Nudirman menilai, Kepala Polda telah melanggar asas praduga tak bersalah. Seharusnya petugas dari Polda Metro Jaya terlebih dulu meneliti dan mengkaji kasus ini lebih jauh apakah memang ada kaitan dengan Tommy.
Menyikapi kritikan yang diberikan oleh kuasa hukum Tommy Soeharto, Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, Adang Rochjana, menolak tudingan sejumlah kalangan bahwa polisi telah berpendapat terlalu dini dengan menuding Tommy sebagai dalang pembunuhan Syafiuddin. Adang menegaskan, kepolisian tidak menuduh, kepolisian hanya menyampaikan pengakuan dari Mulawarman dan Noval. Mulawarman ditangkap di perempatan RS Fatmawati, Jakarta Selatan, sekitar pukul 01.00 WIB, ketika bersama anak dan istrinya hendak pergi ke Jawa Timur. Sementara sekitar pukul 03.00 WIB, Novel dibekuk di daerah Kebon Nanas, Jakarta Timur dan polisi terpaksa menembak kaki kanan Noval karena ia berusaha melakukan diri.
Dari keterangan pelaku, mereka memperoleh senjata dan bayaran pembunuhan dari Tommy. Pelaku juga mengaku, sebenarnya Tommy ingin turun tangan sendiri menghabisi Syafiuddin. Namun, ragu-ragu dan mengajukan Noval dan temannya untuk melakukan eksekusi tersebut. Keterangan kedua tersangka perihal aksi penembakan itu cocok dengan keterangan saksi kejadian yang berlangsung di Sunter Jaya.
Keterangan dari saksi yang berada di tempat kejadian perkara diperoleh ketika hari pertama dan kedua setelah korban terbunuh. Sementara itu, dihari ketiga, kepolisian berkonsentrasi melalukan penyelidikan terhadap teman-teman korban di Mahkamah Agung. Pada hari keempat, tim beranggotakan delapan orang dipimpin oleh seoarang komisaris, langsung mempunyai kepastian, yakni Tommy Soeharto kemungkinan besar sebagai pelakunya. Hal itu berdasarkan pertimbangan dari empat kasus besar yang dihadapi oleh Syafiuddin, hanya kasus Tommy Soeharto yang hakim anggotanya hakim agung Sunu dan Paulus Lotulung mendapat ancaman serupa akan dibunuh. Tidak hanya itu, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Antasari, juga mendapatkan ancaman serupa. Arah penyidikan makin terarah ke Tommy Soeharto, karena penyidik mendapatkan informasi bahwa Tommy bersama dua orang temannya mengunjungi Syafiuddin di rumahnya, di Cipayung, Jakarta Timur. Tommy dan rekannya itu meminta Syafiuddin menyatakan Tommy tidak bersalah dalam kasus tukar guling PT Goro-Bulog.
Tidak hanya itu, Adang menjelaskan, polisi menemukan pistol jenis Berreta caliber 9 mm dalam penggeledahan di rumah Tommy. Setelah uji balistik di laboratiorium forensik, ditemukan adanya kesamaan antara peluru yang ditembakan ke Syafiuddin dengan tembakan pistol Berreta yang disita itu.
Berkaitan dengan bom, polisi juga menemukan kaitan atau adanya kesamaan jenis bom yang meledak di Atrium dengan bahan peledak di rumah yang dikontrak Tommy di Jalan Alam Segar, Pondok Indah, Jakarta Selatan. Bom di Atrium diaktifkan dengan telepon seluler. Sementara, rangkaian bahan peledak di Pondok Indah juga memanfaatkan telepon seluler untuk mengaktifkan bom. Adang menambahkan, ledakan di Slipi dan Mampang berasal dari granat jenis manggis, sementara di rumah kontrakan Tommy juga ditemukan granat manggis.
Berkaitan dengan barang bukti yang ditemukan oleh kepolisian, Adang meminta jajaran kepolisian untuk menyebarluaskan sekitar 5.000 lembar pamflet bergambar seorang pria berkumis dan berjenggot dengan wajah Tommy Soeharto. Ribuan pamflet itu disebar dengan menggunakan helicopter di daerah Ibu Kota. Ia yakin, Tommy Soeharto masih berada di Ibu Kota. Adang meminta masyarakat yang mengetahui keberadaan Tommy untuk melaporkan ke kantor polisi terdekat. Tidak hanya itu, Kepala Polda Metro Jaya, Irjen Sofjan Jacoeb, dan beberapa pengusaha akan memberikan hadiah sebesar Rp 500 juta kepada orang yang bisa menangkap Tommy Soeharto. Ia juga mengunkapkan, berdasarkan keterangan para tersangka, Tommy kerap membawa tas berisi senjata api dan granat. Langkah serupa juga dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Sutioyoso, ia menjanjikan hadiah bagi wali kota, camat, dan lurah di wilayah Jakarta yang berhasil menginfomasikan keberadaan buronan Tommy Soeharto.
Pihak kepolisian juga melakukan operasi jalanan untuk mencari Tommy Soeharto. Operasi pemeriksaan terhadap mobil-mobil di beberapa ruas jalan di DKI Jakarta. Ketika operasi tersebut puluhan petugas polisi yang dilengkapi senjata laras panjang melakukan razia di Jalan Cendana, yang menuju kediaman mantan Presiden Soeharto, dan Jalan Yusuf Adiwinata, yang menuju rumah Tommy. Mobil-mobil yang melintas dihentikan, pengendara dimohon keluar untuk menunjukkan surat-surat identitas diri dan kendaraan, lalu mobil digeledah. Pemeriksaan di sekitar kediaman Tommy Soeharto dan mantan Presiden Soeharto dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan Tommy pulang ke rumahnya secara diam-diam. Tidak hanya di kawasan tersebut polisi melakukan pemeriksaan di jalan-jalan protocol di Jakarta seperti Jalan Gajah Mada serta perbatasan Jakarta dengan daerah tetangganya. Di Jalan Raya Cibubur-Cilengsi KM 1, perbatasan antara Jakarta Timur dan Kabupaten Bogor juga dilakukan pemeriksaan. Namun, hasil yang didapatkan masih tidak memuaskan.
Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Adang Rochjana, menghimbau agar keluarga Tommy untuk segera menyerahkan dia ke polisi. Itu semua untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah yang tidak perlu. Kepala Staf TNI Angakatan Darat (KSAD), Jendral Endriartono Sutarto, menyatakan pihaknya akan menindak tegas anggota TNI AD yang coba-coba melindungi buronan Tommy Soeharto. Sanksi pemecatan juga akan dijatuhkan terhadap anggota TNI AD yang terbukti terlibat dalam kasus tersebut.
Menurut ahli hukum Prof Achmad Ali, jika Tommy Soeharto terbukti bersalah dalam kasus pengeboman dan pembunuhan atas hakim agung Syafiuddin Kartasasmita, maka ia, berdasarkan undang-undang, dapat dijatuhi hukuman mati. Ia menambahkan, Tommy diduga mempunyai banyak masalah hukum yang berat. Pertama, ia jadi buronan dan mengelak menjalani hukuman penjara satu tahun enam bulan. Dengan urusan buronan itu saja, pengadilan dapat menambahkan hukumannya, melalui proses peradilan. Kedua, jika terbukti di pengadilan Tommy memerintahkan dua orang suruhan membunuh hakim agung Syafiuddin, maka ia sebagai pelaku intelektual bisa dikenakan hukuman mahaberat, yakni hukuman mati, sebagaimana diatur Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketiga, jika terbukti di pengadilan bahwa Tommy memiliki senjata api secara ilegal, termasuk memiliki granat dan bom, ancaman hukumannya juga pidana mati. Keempat, jika terbukti di pengadilan bahwa ia yang menyuruh meledakkan bom dan granat, maka hukumannya juga mati. Ia menambahkan, Tommy baru dapat lolos dari semua ancaman hukuman pindana jia ia menginap penyakit gila, bukan pura-pura gila. Faktor lain yang bisa meloloskannya, kalau ia meninggal dunia.

Reaksi Masyarakat
            Koalisi Organisasi Non-pemerintah Antikekerasan dan Antikorupsi, berunjuk rasa di depan Gedung Korps Reserse Markas Besar (Mabes) Polri. Mereka menuntut Kepolisian RI untuk tidak takut dan ragu mengungkap dan menyidik kasus kejahatan konspirasi dan korupsi, termasuk tidak boleh ragu mengusut kasus pembunuhan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita. Menurut para pengunjuk rasa, pembunuhan Syafiuddin menandai makin mengkhawatirkannya ancaman kekerasan di tengah masyrakat. Mereka juga menambahkan, siapa pun pelaku dan aktor intelektual di belakang pembunuhan tersebut, serta motif yang melatarbelakanginnya, merupakan teror nyata, karena momen yang dipilih adalah pergantian kekuasaan dalam kancah politik nasional. Pesan yang mencuat dan mecekam kesadaran publik adalah pemerintah boleh berganti, tetapi kekerasan tetap berjalan.
            Mereka menyatakan mengutuk penggunaan kekerasan demi melindungi kepentingan pribadi dan kelompok. Apalagi jika rangkaian tindak kekerasan itu sengaja ditunjukan untuk menghamba, atau menggagalkan proses penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Mereka juga menegaskan, kekesaran terhadap aparat penegak hukum adalah ancaman bagi seluruh warga negara. Bahkan, kekerasan yang dilakukan secara vulgar itu merupakan tantangan konkret bagi kelangsungan penegakan supremasi hukum di masa transisi ini. Mereka juga mendesak agar Polri mengusut tuntas peristiwa penembakan Syafiuddin secepatnya, agar kredibilitas pemerintahan tetap terjaga. Jika pengusutan peristiwa penembakan ini mengalami jalan buntu, itu akan menjadi preseden buruk bagi meluasnya ancaman kejahatan yang teroganisir. Mereka juga meminta agar para penegak hukum polisi, jaksa, dan hakim untuk tidak takut dan menunda-nunda penyelesaian perkara secara tegas dan bertanggung jawab.
         Koalisi yang berunjuk rasa di Mabes Polri itu beranggotakan anta lain dari Indonesia Corruption Watch, Institute for Economic Studies, Masyrakat Transparansi Indonesia, Pusat Advokasi Hukum dan HAM Indonesia, Transparency Internasional Chapter Indonesia, Jaringan Media Profetik, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi HAM, Komite Nasional Antikekerasan, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, Jaringan Aktivis 1998, LSM Harun, dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Trisakti.
       Setelah peristiwa pembunuhan Syafiuddin, ahli hukum Dr Hamid Awaludin menyatakan, pemerintah sebaiknya mencabut izin kepemilikan senjata api oleh kalangan sipil. Pemilikan dan penjualan senjata api hanya akan menambah masalah bagi bangsa yang masih sarat masalah ini. Kepemilikan senjata seharusnya hanya oleh Tentara Nasinal Indonesia (TNI), Polri, atau pegawai negeri sipil yang diberi izin memegang senjata. Hamid juga berpandangan, kepemilikan senjata api di negara ini ternyata dapat meningkatkan angka-angka kriminalitas. Sejumlah orang yang merasa punya senjata api, bisa leluasa mengeluarkan ancaman untuk membunuh, menyakiti lawan-lawannya, atau sekedar menggertak dan memeras. Dengan contoh real, aksi pembunuhan terhadap hakim agung Syafiuddin Kartasasmita.
            Menurut masyarakat awam yang seorang pensiunan BUMN mengenai kasus Tommy, ia berpendapat, seharusnya polisi memberikan hadian lebih bukan Rp 500 juta, karena Tommy itu kelas kakap. Lagipula, hanya dengan imbalan uang saja untuk menangkap penjahat sekelas Tommy itu tidak cukup. Harus ada intruksi wanted dead or alive!”, dan jaminan keamanan bagi penangkap dan keluarganya! Ia juga menganggap polisi di jaman Gus Dur keliatan tidak serius menangkap Tommy. Baru zaman Mega, mereka serius menangkap Tommy.
            Seorang wiraswasta dan mantan narapidana Bujek berpendapat, Tommy itu sudah tidak usah diragukan lagi bajingan atau tidak. Menurutnya semua orang kenal dengan Tommy Soeharto. Cuma yang menjadi masalah, memang Tommy anak orang hebat dan sampai zamannya Mega masih punya kuasa besar. Ia pun ragu kalau aparat memang sungguh-sungguh mau menagkap Tommy. Paling semua usaha menangkap ini cuma bisa-bisanya aparat saja biar dinilai kerjanya beres. Ia mempertanyakan, jika Tommy sudah tertangkap, Tommy itu tidak bisa lepas lagi? Napi-napi kelas teri saja bisa “keluar” dari penjara, apa lagi orang sekelas Tommy. Berdasarkan pengalaman Bujek, ia dulu beberapa kali kabur dari penjara. Menurutnya, urusan kabur dari penjara adalah hal gampang, asal memiliki keberanian dan duit.
            Kasus ini juga memunculkan tanda tanya besar bagi masyarakat dalam hal akurasi informasi. Muncul pertanyaan, mengapa tidak ada pengacara independen dalam penahanan para tersangka ini? Bahkan, biasanya jika polisi berhasil membekuk penjahat, wartawan diberi kesempatan bertemu dengan para tersangka. Polisi akan menjajarkan para tersangka itu di sebuah ruang di Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, dan mempersilahkan wartawan bertanya langsung pada para tersangka. Dalam kasus pembunuhan kasus Syafiuddin ini, tersangka sama sekali tidak dipamerkan oleh polisi.
            Menyikapi hal itu, polisi berdalih bahwa hal ini demi kelancaran proses pemeriksaan dan penggalian informasi dari para tersangka. Namun, apa pun argumentasinya, sikap polisi itu telah membuka peluang bagi terjadinya monopoli informasi, dan akibatnya akan terjadi manipulasi infomasi kepada publik. Maka, wajar kiranya jika ada pertanyaan dari kalangan masyarakat. Jangan-jangan semua kasus itu rekayasa pihak tertentu untuk menyudutkan kembali Tommy Soeharto. Ada pula pertanyaan, apakah Tommy yang nyaris terlupakan selama ini, tenggalam dalam hiruk pikuk perebutan kekuasaan politik, bisa dengan enaknya memutuskan menghabisi nyawa hakim agung yang memutuskan perkaranya?
            Opini yang berkembang di masyarakat juga mengatakan, seharusnya pembunuhan Syafiuddin mudah untuk dideteksi latarbelakangnya. Lagi pula, kalau memang ingin membunuh hakim agung, kenapa tidak dilakukan sejak awal Tommy divonis penjara? Teori pembunuhan Syafiuddin ini memiliki persoalan waktu. Namun, teori pembunuhan ini diperkuat dengan penemuan-penemuan senjata yang menurut polisi, salah satu pistol yang ditemukan di rumah kontrakan di Pondok Indah adalah pistol untuk membunuh Syafiuddin. Hebat, begitu gampangnya menemukan dan menganalisanya. Menurut masyarakat, pembunuh professional diyakini tidak akan menyimpan senjata yang dipakai dalam aksinya. Pasti akan dibuang di suatu tempat, misalnya di laut bebas.
           Secara keseluruhan, masyarakat mula-mula bersikap skeptic setelah berbulan-bulan Tommy melarikan diri dan tak kunjung bisa ditangkap.  Tetapi opini masyarakat berubah untuk lebih berpihak kepada polisi. Hal itu bisa terjadi, karena polisi berhasil melakukan penggerebekan di sebuah apartemen di Jalan Cemara, Jakarta Pusat, dan di sebuah rumah di Jalan Alam Segar, Pondok Indah, Jakarta Selatan, yang dinyatakan oleh pihak polisi sebagai rumah tempat persembunyian Tommy. Berbagai pujuan dilontarkan oleh masyarakat untuk kinerja polisi berhasil melalukan penggerebekan dan menemukan beberapa barang bukti, meskipun masih belum bisa menangkap dan menemukan Tommy. Selain itu, ahli hukum Harkristuti Harkrisnowo memang menyatakan, soal kecurigaan orang bahwa polisi melakukan rekayasa adalah hal biasa dan tidak tertutup kemungkinan itu terjadi. Akan tetapi, kemungkinan itu sangat kecil, mengingat polisi Indonesia ketika masa itu sedang giat-giatnya berusaha menciptakan citra yang baik.

Perspektif dari Keluarga Cendana Mengenai Kasus Tommy.
Sejak mundurnya Soeharto dari tampuk kepresidenan, keluarga Cendana selalu menjadi sasaran segala kesalahan yang terjadi di era Orde Baru. Semua tuduhan dan kekeliruan masa lalu sepertinya begitu mudah untuk dilimpahkan kepada keluarga Cendana. Oleh sebab itu, untuk kasus Tommy Soeharto, keluarga Cendana lebih bersikap diam. Sikap diam tersebut membuat keluaraga Cendana menjadi semakin bulan-bulanan.
Akhirnya keluarga Cendana mau berbicara, keluarga Cendana yang diwakili Siti Hardiyati Hariyadi (Titiek) mengimbau agar Tommy Soeharto untuk menyerahkan dan segera muncul ke publik untuk mengkalirifikasi segala tuduhan yang ditimpakan kepadanya. Titiek yang merupakan kakak dari Tommy, mengimbau agar masyrakat untuk tidak cepat-cepat mengambil keputusan bahwa Tommy sebagai dalang yang bertanggung jawab atas tewasnya Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, serta temuan senjata api dan bahan peledak yang disita polisi. 
Selain Titiek, Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) juga memberikan komentar senada dengan Titiek, agar masyarakat tidak mengambil kesimpulan terlalu cepat terhadap kasus ini. Tutut sebagai kakak tertua di keluarga cendana menambahkan, bahwa adiknya (Tommy) tidak mungkin melalukan hal-hal yang dituduhkan itu. Dalam pengembangan kasus tersebut, Titiek dan Tutut turut diperiksa oleh kepolisian untuk kasus yang dialami oleh Tommy Soeharto. Titiek dalam pemeriksaannya, diberikan 32 pertanyaan oleh penyidik. Karena sakit, ia hanya menjawab delapan dari 32 pertanyaan yang disiapkan penyidik.
Selain itu, sang mantan Presiden Soeharto yang sudah menjabat kurang lebih 32 tahun dikabarkan gelisah karena kasus Tommy. Meskipun mantan Presiden Soeharto juga terlibat kasus pelanggaran hukum, ia sebagai orang tua merasa gelisah dengan kejadian yang dialami oleh anaknya. Kegelisahan yang dialami oleh mantan Presiden Soeharto, coba dibendung oleh anak-anaknya. Tutut mengatakan, ketika kasus Tommy Soeharto bergulir, bapak (Soeharto) sering menanyakan keberadaan Tommy. Kami sebagai anak selalu mengatakan Tommy sedang pergi keluar negeri. Tetapi tampaknya bapak tahu mengenai dugaan kasus yang sedang dialami Tommy. Bapak mengatakan “pergi keluar negeri kok tidak pulang-pulang.”
Tidak hanya itu, anak-anak Soeharto juga mencoba untuk membatasi informasi yang berkembang di masyarakat. Hal itu dilakukan dengan cara tidak memberikan surat kabar ke Soeharto, siaran televisi khusunya saluran lokal kami batasi. Akan tetapi, Tutut beranggapan, bapaknya bukanlah anak kecil. Jadi meskipun dibatasi, ketika bapak sedang menonton sendirian, ia biasanya menganti-ganti chanel televisi. Bahkan, Soeharto pernah memanggil tukang service untuk membetulkan televisinya karena saluran-saluran televisi dalam negeri tidak dapat dibuka, hanya saluran luar negeri yang dapat dibuka.
Tidak hanya itu, ada sebuah kabar yang berhembus bahwa keluaraga Cendana sempat menemui Presiden Megawati Soekarnoputri untuk meminta pandangannya menyelesaikan persoalan yang dihadapi keluarga Cendana. Pertemuan itu terjadi pada saat Titiek Soeharto menyampaikan upacara selamat dari Pak Harto kepada Megawati atas pengangkatannya sebagai Presiden. Dalam pertemuan itu, Megawati menyarankan agar Tommy menjalani saja keputusan pengadilan. Sebab itu merupakan keputusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Nada yang sedikit berbeda disampaikan oleh Tutut Soeharto, ia mengatakan bahwa tidak mau merepotkan Presiden Megawati dengan soal-soal seperti itu.Kasian mbak Mega, baru menjabat sudah dikait-kaitkan dengan Orde Baru.” katanya. Dengan penuh keyakinan, Tutut menganggap Tommy tidak terlibat dalam dugaan kasus pembunuhan hakim agung dan kasus teror yang terjadi di Jakarta. Ia menegaskan bahwa, Soeharto selalu mengajarkan anak-anaknya beragama dan tidak mengajarkan anak-anaknya untuk pikiran cepat/negative. Selain itu, Tutut Soeharto berharap agar Tommy Soeharto segera menyerahkan diri atau muncul, agar mengklarifikasi semua kasus dan tuduhan yang menimpanya.

Kembali Lagi ke Kelanjutan Kasus Korupsi Tommy Soeharto.
Mahkamah Agung (MA) hingga 18 Agustus 2001 masih belum memutuskan peninjuan kembali (PK) yang diajukan terdakwa Tommy Soeharto dalam kasus dugaan korupsi tukar guling tanah Badan Urusan Logistik (Bulog) dengan PT Goro Batara Sakti. PK belum diputuskan karena majelis hakim yang dipimpin Wakil Ketua MA Taufiq, dengan anggota German Hoediarto, Ketua Muda MA urusan Lingkungan Peradilan Militer, dan Ketua Muda MA bidang Hukum Perdata Tertulis, masih mendiskusikan perkara tersebut.
         Menurut Elza Syarief, seorang penasihat hukum Tommy Soeharto mengatakan, memang belum ada putusan terhadap permohonan PK atas nama Tommy Soeharto. Ia mengharapkan majelis hakim PK harus bersikap mandiri dalam memutuskan permohonan PK. Hakim jangan terpengaruh pendapat yang selama itu berkembang, termasuk peristiwa tewasnya hakim agung Syafiuddin. Permohonan PK itu harus dilihat sebagai perkara yang berbeda dengan kasus penembakan Syafiuddin. Ia menambahkan, jika Tommy diduga terlibat kasus penembakan Syafiuddin, hal itu merupakan perkara lain tidak dapat disatukan dengan permohonan PK terhadap kasus dugaan korupsi yang dihadapi Tommy.
         Berita mengejutkan pada 1 Oktober 2001, MA melalui majelis hakim agung yang diketuai Taufid memutuskan menerima permohonan PK yang disampaikan terpidana Tommy Soeharto melalui penasihat hukumnya. Dengan putusan tersebut, Tommy Soeharto dinyatakan tidak terbukti melalukan tindak pidana korupsi pada kasus tukar guling (ruislag) tanah Bulog dengan PT Goro Batara Sakti, dan dinyatakan bebas murni. Taufiq mengaku, putusan yang dibuat oleh majelis hakim agung yang dipimpimnya itu, dengan anggota Ketua Muda MA Bidang Hukum Perdata Tertulis Soeharto serta Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Militer German Hoediarto, pasti akan menimbulkan kontroversi dalam masyrakat. Akan tetapi, putusan itu dibuat atas pertimbangan hukum dan tidak ada intervensi dari siapa pun. Taufiq menambahkan, majelis hakim agung khusunya saya, dalam perkara Tommy hanya ingin menjalankan perintah agama. Dengan berdalih janganlah kebencianmu pada seseorang meniadakan keadilan.
         Dari sudut pandang kepolisian, mereka mengaku terkejut mengenai keputusan tersebut. Namun, Polri tetap mencari Tommy karena Tommy adalah buronan Polri untuk kasus dugaan terlibat pembunuhan hakim agung Syafiuddin, kepemilikan senjata api, dan bahan peledak. Mekipun Adang Rochjana selaku Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, mengakui lelah mencari Tommy Soeharto. Karena pihaknya harus mengeluarkan Rp 1.2 Juta setiap hari. Dana tersebut untuk sekitar 120 personel yang sigap 24 jam. Menurutnya, dana tersebut kemungkinan besar tidak sebanding dengan dana Tommy untuk mengamankan persembunyiannya. Meskipun mengalami kelelahan, Polri tetap wajib mencari Tommy.
         Pendapat lain dikemukan Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasssar, Dr Hamid Awaluddin, menilai, putusan MA yang menerima PK Tommy Soeharto semakin menguatkan, MA tidak sensitive dengan rasa keadilan masyarakat. Fachmi, JPU yang mendakwa Tommy Soeharto, mengakui, sangat kecewa terhadap keputusan MA yang menirma PK Tommy. Menurut Fachmi, putusan PK itu terlalu dini serta tidak pada tempatnya dikeluarkan saat Tommy Soeharto masih buron. Seharusnya Tommy muncul dulu, baru permohonan PK-nya diproses. Anggota Komisi II DPR Muttammimul Ula mengaku, ketika itu tidak mudah untuk menilai putusan PK MA yang membebaskan Tommy Soeharto. Putusan itu dapat terjadi mungkin karena kelemahan dakwaan jaksa. Tetapi, bisa juga karena majelis hakim agung terlalu melihat kasus itu secara formalistik. Seorang kuasa hukum Tommy Soeharto, Nurdiman Munir, sebaliknya menyatakan gembira atas putusan MA itu. Ia mengagap bahwa putusan itu hasil perjuangan yang melelahkan dan keadilan dapat ditegakkan.
         Menurut tanggapan pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia, Prof Dr Mahfud MD, praktisi hukum Adnan Buyung Nasution, dan Trimoelja D Soejadi, mereka berpendapat, putusan majelis hakim yang menerima permohonan PK Tommy Soeharto telah mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Rasa keadilan masyarakat sungguh-sungguh terusik karena Tommy Soeharto secara substantif telah mengaku bersalah dan meminta ampun kepada Presiden dengan mangajukan grasi. Namun, setelah grasinya ditolak, Tommy memilih untuk melarikan diri sampai saat ini.
        Pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Adnan Buyung Nasution, menambahkan, putusan MA yang menerima permohonan PK Tommy Soeharto telah menghancurkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan yang sebenarnya mulai tumbuh. Putusan tersebut juga semakin merunyamkan peradilan. Kekecewaan terhadap putusan PK Tommy Soeharto, juga disampaikan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yusril Ihza Mahendra. Secara pribadi, ia kecewa dengan putusan itu. Yusril mengatakan, dulu ia menyarankan ke mantan Presiden Gus Dur untuk menolak permohonan grasi Tommy Soeharto. Menurutnya, bagaimana mungkin orang yang sudah mengakui kesalahannya dengan memohon grasi, boleh mengajukan PK yang berarti menolak menyatakan bersalah. Menurutnya, tidakan tersebut merupakan dua hal yang bertentangan.
         Seorang pengacara Trimoelja D Soerjadi mengatakan, keputusan MA yang menerima PK Tommy Soeharto, benar-benar mencoreng citra MA. Ia berpendapat, seharusnya para hakim agung itu peka terhadap tuntutan keadilan yang berkembang di masyarakat. Dalam Undang-Undang (UU) Pokok Kekuasaan Kehakiman jelas ditegaskan bahwa hakim harus menggali hukum dan rasa keadilan masyarakat. Jangan terpaku pada pemahaman hukum secara sempit dalam buku tertulis. Keputusan penerimaan PK Tommy Soeharto menunjukkan para hakim agung tidak menggali hukum. Selain itu, seharusnya MA mempertimbangkan berbagai hal, seperti mempertimbangan penolak grasi yang dimohon Tommy Soeharto ke mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Seharusnya jika grasi ditolak, maka MA juga menolak PK yang diajukan. Karena sebelum Presiden memutuskan memberi atau menolak grasi, terlebih dulu meminta pandangan MA. Dalam kasus ini, grasi sudah ditolak Presiden, kini PK-nya diterima MA.
            Pendapat senada disampaikan Ketua MPR, Amien Rais, ia berpendapat tidak bisa memahami putusan MA. Menurutnya, bagaimana mungkin orang yang melarikan diri, buron, menghindari hukuman, bahkan sudah diultimatum polisi justru diputuskan bebas. Tambah Amien, putusan PK Tommy Soeharto yang dibuat majelis hakim agung menjadi ironi dalam upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi perekonomian dan menegakkan hukum. Sebab, putusan itu langsung membuat kepercayaan masyarakat kepada hukum dan perekonomian nasional langsung menurun.
            Respon sedikit berbeda disampaikan Wakil Presiden, Hamzah Haz. Hamzah mengatakan, pemerintah menghormati keputusan hakim yang mengabulkan PK Tommy Soeharto. Karena kalau hukum sudah menetapkan demikian, dari aspek hukumnya, tentu kira harus hormati keputusan lembaga hukum yang berlaku di Indonesia. Ahli hukum Universitas Indonesia (UI), Prof Dr Loebby Loqman, berpendapat serupa, kita harus menghormati putusan pengadilan. Apa pun putusannya, kita harus menghormati putusan MA. Ia menambahkan, tentang rasa keadilan masyarakat, keadilan itu ada keadilan hukum (legal justice) dan keadilan sosial (social justice). Dalam kasus ini, kita tidak bisa tidak menggunakan legal justice, sedangkan jika menggunakan social justice ukuran apa yang digunakan.
         Menyikapi putusan tersebut, Taufiq sebagai ketua mengutarakan, dalam memutuskan menerima PK yang diajukan Tommy Soeharto, majelis hakim agung mendapatkan bukti baru dari kuasa hukum Tommy Soeharto. Bukti baru itu adalah pada saat ruislag tanah Bulog dengan Goro di Kelapa Gading tersebut dilakukan, Tommy Soeharto sudah tidak menjabat lagi sebagai komisaris utama. Taufiq pun menjelaskan, dengan putusan PK Tommy Soeharto, Tommy tidak bisa dihukum dalam perkara korupsi tukar guling tanah Bulog dengan Goro. Dapat dikatakan Tommy bebas murni. Akan tetapi, bukan berarti ia tidak bisa ditangkap dan ditahan untuk perkara yang lain. Menurut Hamid Awaluddin, putusan PK berlaku mulai Senin 1 Oktober 2001 dan tidak berlaku surut. Artinya, Tommy tetap harus menjalani hukuman dipenjara selama sejak putusan kasasi dijatuhkan sampai turunnya putusan PK atau sekitar 10 bulan. Sebabab sesuai dengan KUHP, permohonan PK tidak menunda pelaksaan putusan kasasi.
          Taufiq juga siap bertanggungjawab atas putusan ini. Bahkan, ia meminta ke DPR untuk mencopot dirinya jika dianggap mengotori MA. Jangankan Ma menjadi kotor, Ia juga tidak mau tahu apa pendapat pasar, ia hanya berurusan dengan kebenaran. Ia menambahkan, moral yang melatabelakangi putusan ini, bahwa kebencian pada seseorang, sekalipun musuh, janganlah menyeret pada ketidakadilan. Timnya memutus masalah ini mendasarkan pada asal legalitas dan kebenaran materil bahwa seorang terpidana berhak mengajukan permohonan PK. Taufiq juga menambahkan, mungkin masyarakat benci pada Tommy, pada Soeharto, dan pada Orde Baru, tetapi ini tidak boleh menjadikan kita bertindak tidak adil.
     Keritik juga dilakukan oleh mantan Sekertaris Tim Persiapan Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Komisi Antikorupsi) Muzakar Harun dan Ketua  II Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Benny K Harman. Menyarankan MA harus meninjau susunan majelis hakim yang mengabulkan PK Tommy Soeharto. Menurut Benny, susunan majelis PK adalah Taufiq yang belatarbelakang peradilan agama, German Hoediarto hukum militer, dan hakim Soeharto hukum perdata, yang menurutnya meragukan. Selain itu, Muzakar juga mempertanyakan sikap Ketua MA, Bagir Manan, yang tidak meninjau kembali susunan majelis hakim yang akan mengadili permohonan PK Tommy Soeharto. Menurutnya, latar belakang dari hakim yang mengabulkan permohonan PK Tommy tidak kompeten untuk mengadili perkara yang amat menarik perhatian masyarakat. Adnan Buyu Nasution mengakui, kompetansi hakim agung yang mengadili PK Tommy Soeharto memang bisa dipertanyakan. Apalagi, MA sebelumnya sudah memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden berkaitan dengan penolakan permohonan grasi Tommy Soeharto. Buyung menambahkan, lebih baik dilakukan debat terbuka terhadap putusan pengadilan yang berkaitan dengan Tommy Soeharto. Taufiq harus berani menjelaskan putusannya di depan masyarakat.
         Benny Harman menyarankan, agar MA ke depannya, harus betul-betul mengarahkan kepada hakim yang sepesial. MA harus menjadi kamar-kamar dengan hakim yang spesial pun. Jangan sampai tiba-tiba hakim militer harus menangani perkara-perkara kepailitan, atau hakim agama menangini kasus pidana. Mekipun para hakim agung itu semuanya berlatarbelakang sarjana hukum, tetapi perlu ada spesialisasi seiring dengan makin kompleksnya masalah hukum yang dihadapi. Sebagai contoh, seorang hakim militer yang biasa menangani kasus-kasus berkaitan dengan pelanggaran militer, tentunya amat berbeda dengan kasus-kasus yang banyak melibatkan publik. Kemampuan mereka menangkap rasa keadilan masyarakat pun akan sangat berbeda.
           
Tertangkapnya Tommy Soeharto dan Putusan Pengadilan
Rabu, 28 November 2001 Tommy Soeharto berhasil ditangkap oleh pihak kepolisian, setelah buron lebih dari 1 tahun semenjak dijatuhi hukuman terkait kasus korupsi. Menurut Satuan Reserse Umum pimpinan Komisaris, Tito Karnavian, Tommy tidak melakukan perlawanan saat ditangkap. Selama ini dicitrakan sebagai orang kuat yang selalu dikitari para pengawal bayaran bersenjata lengkap. Saat disergap, posisi Tommy tidak dalam keadaan siaga tempur, tetapi tidur dengan kedua tangan di bawah bantal, mengganjal kepalanya. Keberhasilan kepolisian menangkap Tommy Soeharto berkat pengembangan-pengembangan dari pada saksi, pelaku, dan barang bukti yang selama ini dimiliki oleh kepolisian. Setelah tertangkap, Tommy dengan pengawalan ketat segera dibawa ke Markas Polda Metro Jaya sekitar pukul 18.25 WIB.
        Penangkapan itu dilakukan di Jalan Maleo II Nomer 9, Jakarta. Tito selaku pimpinan dalam penyelidik dan pencari Tommy, mengakui mendapatkan pola komunikasi yang kerap dilakukan dari empat tempat, yakni di Menteng, Pondok Indah, Bintaro, dan Pejaten. Anggota tim yang terlibat dalam pencarian itu, memantau nyalanya sinyal telepon, merekam pembicaraan telepon, dan menelusuri lembaran-lembaran hubungan komunikasi. Pemantauan dan penyadapan komunikasi tersebut berlangsung efektif sekitar tiga bulan sebelum penangkapan dan mendapatkan banyak barang bukti kaset rekaman telpon.
          Dalam kronologinya, Polri mengaku Tommy sudah masuk ke rumah yang beda di Jalan Maleo II nomer 9, Jakarta, sudah sejak tiga hari sebelum penangkapan. Sejak saat itu, polisi melakukan pengawasan 1x24 jam dari segala jurusan yang melintas jalan tersebut. Kepada beberapa warga yang terpaksa harus mereka tanya untuk memperoleh informasi situasi rumah tersebut, polisi mengaku warga sekitar sedang mengintai orang yang diduga sebagai pengedar narkotika dan ganja. Hal yang menarik dalam penangkapan Tommy, tim tidak langsung menyerbu rumah itu, karena ikut-ikutan memakai saran paranormal. Paranormal, meramalkan hari Rabu merupakan hari sial Tommy, maka itu tim melakukan pengerebekan pada hari Rabu.
         Ketika penangkapan, polisi masuk Rabu sore melalui belakang rumah yang ditinggali Tommy, dengan melewati pagar yang tingginya sekitar empat meter. Penangkapan tersebut bisa terlaksana karena ada kerja sama dengan Ny Hasan selaku pemilik rumah. Setelah polisi berada di rumah yang diduga terdapat Tommy, polisi segera melakukan penyisiran di rumah itu. Kurang lebih ada 20 orang yang polisi yang terlibat dalam penangkapan tersebut. Menurut keterangan Danang salah seorang polisi yang pertama kali menemukan Tommy, Tommy berada di kamar nomer 3 dari rumah tersebut dan berada di lantai 1. Total kamar yang berada di rumah itu terdapat 7 kamar di lantai 1. Ketika itu Danang, melihat ada seseorang yang sedang tertidur di kamar nomer 3, ia segera menuju kamar tersebut dan tidak membangunkan orang tersebut. Setelah melihat dan menyakini itu Tommy, ia segera mengarahkan pistol ke Tommy dan membangunkannya. Menurutnya, Tommy tersentak bangun dan berusaha menghampiri Danang yang lalu berjalan mundur, untuk menjaga jarak dengan Tommy. Ketika penangkapan tersebut Tommy mengatakan, “Tenang-tenang, mari kita damai, mari kita damai. Saya tidak akan melawan. Saya bukan musuh polisi, saya begini karena sakit hati dengan GD.”
        Setelah menemukan Tommy di kamar nomer 3, Danang segera berteriak, “ada Tommy. Ada Tommy.” Mendengar teriakan tersebut, anggota tim lainnya segera berdatangan masuk ke kamar tersebut. Ketika penangkapan, Tommy menggunakan kaus putih dan bertampang sangat memelas. Dalam penggeledahan tersebut, polisi tidak menemukan orang lainnya, atau menemukan senjata api atau bahan peledak.
         Dengan tertangkapnya Tommy, bukan berarti kerja Polri sudah selesai. Setidaknya ada tiga tugas berat yang harus dihadapi oleh Polri pascatertangkapnya Tommy. Pertama, Polri harus segera membuktikan keterlibatan Tommy dalam pembunuhan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita. Kedua, Polri harus segera membuktikan keterlibatan Tommy dalam serangkaian kasus bom, karena teror bom masih terus mengacam masyarakat, khususnya masyarakat Jakarta.  Ketiga, Polri harus segera membuktikan, Tommy telah bekerja sama dengan GAM dalam melakukan teror bom.
           Setelah delapan bulan pasca penenangkapan Tommy Soeharto, ia harus mengikuti persidangan dengan kasus dugaan kasus yang dituduhkan ke dirinya. Setelah melewati sidang yang cukup panjang, Tommy Soeharto pada Senin, 15 Juli 2002, ia dinyatakan terbukti melakukan empat tindakan pidana dan dituntut 15 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Hasan Madani. Keempat tindak pidana yang dinyatakan, Tommy terbukti memiliki senjata api beserta amunisi di Apartemen Cemara dan di sebuah rumah di Jalan Alam Segar, Tommy juga terbukti menganjurkan pembunuhan berencana atas diri hakim agung Syafiuddin Kartasasmita, dan ia terbukti merintangi pegawai negeri sipil menjalan eksekusi.
        Berkaitan dengan tuntutan tersebut, dinilai oleh sebagian orang terlalu ringan. Dua anggota DPR, yakni Hamdan Zoelva dan Sjaiful Rachman, Tommy terbukti melalukan perbuatan tindak pidana tersebut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 12/Darurat/1951, Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 12/Darurat/1951, Pasal 340, 55 Ayat (1) ke-2 KUHP dan Pasal 216 KUHP dalam surat dakwaan kesatu, kedua, ketiga, dan keempat. Setelah mendapatkan putusan tersebut, Tommy akan menempati hotel baru di LP Batu Nusakambangan.




Penulis : Duta
Editor: Kuma