“Bu,
bapak berangkat kerja dulu yah.” Ujar Pak Boni sambil menyelesaikan silpul
terahir tali sepatunya.
“Ohiya
hati-hati yahh pak, jangan sampai kecapean pak.” Sang istri pun segera berjalan
menuju Pak Boni dan mengantarkannya hingga depan rumah.
“Bilang
sama ade, bapak berangkat kerja dulu dan suruh ade jangan sampai terlambat
masuk sekolah!” Perintah Pak Boni untuk sang istri.
“Iya
pak, nanti ibu sampaikan ke ade.” Ujar sang istri sambil merapihkan kerah Pak
Boni.
Setelah
berpamitan, Pak Boni segera menaiki angkutan umum untuk menuju ketempat
kerjanya di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat. Jarak antar rumah Pak Boni
dengan tempatnya tidak begitu jauh, cukup menggunakan 1 kali angkutan umum
dengan waktu tempuh 15 menit. Sesampainya di stasiun, ia segera berdiri di
sekitar tempat parkir mobil. Pak Boni sendiri berkerja selama 5 tahun sebagai
kuli angkut di kawasan Stasiun Pasar Senen. Meskipun menjadi kuli angkut, ia
tetap masuk tepat waktu, tidak jarang ia masuk sebelum waktunya.
Di
sekitar parkir mobil, ia menawarkan jasanya ke pada para penumpang kreta api
yang membawa barang bawaan yang begitu banyak. Satu dua penumpang dihampirinya,
akan tetapi mereka menolak begitu saja jasa yang diberikan oleh Pak Boni. Tanpa
patah semangat, Pak Boni mencoba menghampiri para penumpang yang mulai
berdatangan ke Stasiun Pasar Senen. Namun, ia kembali mendapatkan penolakan
dari para penumpang. Setelah tiga jam berada di sekitar parkiran mobil, ia
memutuskan untuk berpindah ke dalam stasiun dan menawarkan jasanya kepada
penumpang yang baru tiba di stasiun akhir Pasar Senen. Kreta antar provinsi pun
silih berganti, namun rejeki belum juga menghampiri Pak Boni.
Setelah
cukup lama menunggu di dalam stasiun, pak Boni akhirnya mendapatkan penumpang
yang ingin menggunakan jasanya. Begitu banyak barang bawaan yang dibawa oleh
penumpang tersebut, 1 koper, 1 ransel, dan 2 kerdus mie instan yang pastinya
isinya bukan mie instan. 2 kerdus dan 1 koper berukuran besar dan begitu berat
dipikulnya, dengan posisi 1 kerdus berada di pundak kirinya, dan yang lainnya
di tangan kanannya. Tanpa kenal lelah, ia memikul barang bawaan penumpang dari
dalam kreta ke luar stasiun. Setelah menyelesaikan tugasnya, pak Boni pun
mendapatkan bayaran dari penumpang sebesar Rp.30.000 untuk sekali angkat.
Setelah mendapatkan satu pelanggan, ia kembali mencari penumpang di sekitar
parkiran stasiun. Namun perut pak Boni berkata lain, perutnya sudah menunjukan
untuk segera diberikan asupan agar tetap memiliki tenaga. Mengikuti permintaan si
perut, Pak Boni lekas berjalan menuju sebuah warung makan sederhana. Ia memesan
makanan 1 porsi nasi dengan lauk tempe dan telur seharga Rp10.000. Dosa bagi
pak Boni jika sehabis makan ia tidak merokok. Memang kebiasaan ngerokok setelah
makan sudah dilakukannya selama bertahun-tahun dan memberikan kenikmatan
tersendiri baginya.
Setelah
selesai makan, ia segera kembali ke stasiun untuk mencari penumpang. Namun,
Dewi Fortuna nampaknya belum berpihak ke Pak Boni. Bayangkan saja setelah makan
dan menunggu kurang lebih empat jam, ia belum juga mendapatkan penumpang yang
ingin menggunakan jasanya. Menjelang magrib tiba-tiba terlitas dipikiran pak
Boni, “Padahal kondisi stasiun saat ini sedang ramai tetapi ko susah sekali mendapatkan
penumpang.”
Setelah
dibingungkan dengan keadaan tersebut, ia mencoba bertanya ke teman seprofesinya
“Ton, sekarang hari apa sih?”
“Jumat
Bon tapi tanggal merah.” Saut Toni.
“Pantes
sepi penumpang.” Ujar Pak Boni.
Kondisi
tersebut sudah tidak menjadi hal baru bagi Pak Boni, karena setiap long weeken kemungkinan besar sepi
penumpang yang ingin menggunakan jasanya. Dalam pikiran pak Boni “Pantas saja long weeken, jadi banyak penumpang yang
barang bawaanya hanya rasel dan pastinya ga pengen menggunakan jasa angkut.”
Setelah bersendagurau dengan teman satu profesinya, ia mendapatkan penumpang
yang ingin menggunakan jasanya. Tanpa pikir panjang, ia segera mengangkut
barang bawaan penumpang untuk diangkut dan ditata di dalam kreta.
Setelah
melayani penumpang tersebut dan mendapatkan bayaran Rp.30.000, ia memutuskan
untuk pulang ke rumah. Setelah sampai rumah, sang istri dan anak dengan senyum
yang begitu indah menyambut kepulangan pak Boni. Sesampainya di rumah, Pak Boni
lekas bersih-bersih dan bertegur sapa dengan anaknya. Setelah itu, ia segera
masuk ke kamar dengan sang istri untuk melepas letih dengan pekerjaannya.
Sebelum tertidur, Pak Boni memberikan uang sebesar Rp. 45.000 kepada sang
istri.
“Maaf
bu, bapak cuma bisa bawa pulang segini.” Ujar bapak sambil mengeluarkan uangnya
dari kantung celana kerjanya.
“Iya
gapapa pak, tetap ibu terima ko tapi ko cuma sedikit pak? Padahal hari biasanya
bisa lebih banyak pak.” Saut sang istri.
“Biasa
bu, hari ini adalah long weekend
jarang penumpang yang mau memakai jasa bapak, banyak juga penumpang yang
rata-rata masih muda dan menggunakan ransel, pastinya mereka ga membutuhkan
jasa bapak.” Pak Boni menjelaskan sambil merebakan badannya di ranjang.
“Oh
begitu, alhamdullilah setidaknya tuhan masih memberi rejeki ke kita pak.” Saut
sang isti yang juga ikut merebakan badangnya di ranjang.
“Iya
bu.” Saut Pak Boni.
“Ya
udah, sekarang bapak pasti capekan? Sini aku pijitin.” Sang istri lalu
memijitkan Pak Boni dan mematikan lampu kamar.
“Terimakasih
bu.” Saut Pak Boni menikmati pijitan sang istri.
Akhirnya Pak Boni dan sang istri mulai tertidur lelap. Tetapi tanggung jawab pak Boni
sebagai kepala keluarga masih belum selesai, ia harus tetap bekerja menjadi
kuli angkut untuk menafkahi keluarganya. Semoga kisah ini mengispirasi para
pembaca.