Tema : Kehidupan masyarakat dan pendidikan.
Keterangan :
Tulisan ini menceritakan tentang kisah nyata dari seorang teman penulis yang
dituangkan melalu cerita pendek.
Nama
saya Mattuneira, bisa dikatakan saya berasal dari keluarga yang kurang mampu.
Ibu dan bapak tinggal di kampung, sementara saya dan kakak kandung bernama
Butet tinggal di kota. Kami berdua memutuskan untuk merantau untuk membiayai
kedua orang tua di kampung. Kami berdua tinggal di kontrakan yang dapat
dikatakan jauh dari kata layak. Kak Butet hanya bekerja sebagai penjual asongan
di Terminal.
Sementara,
saya hanya bekerja sebagai pengamen jalanan. Saya melanjutkan Sekolah Menengah
Atas (SMA) di Kota Depok. Dapat dikatakan murid-murid yang bersekolah disana
satu profesi dengan saya, guru-guru kami merupakan para relawan mahasiswa, dan
untuk biaya kami digratiskan. Meskipun hidup di bawah garis kemiskinan, saya
memiliki cita-cita untuk mengubah nasip keluarga melalui jalur pendidikan.
Namun upaya tersebut tidak berjalan dengan mudah, saya mendapatkan banyak
cobaan. Cobaan terbesar saya dapatkan ketika mendekati hari Ujian Nasional
(UN), saya ditentang oleh Kak Butet agar tidak melanjutkan sekolah lagi. Berikut
ini adalah kisah yang saya alami.
Satu
bulan menjelang UN, kegiatan di sekolah kami terasa begitu sibuk, banyak
relawan mahasiswa yang silih bergantian mengajar kami. Beratus-ratus soal
latihan harus kami selesaikan. Semua kegiatan yang ada di sekolah kami adalah
gratis. Sekolah gratis tersebut berwujud berkat kerja keras Pak Kalnis dan
dibantu oleh beberapa relawan untuk mencari dana. Meskipun fasilitas yang
diberikan tidak memenuhi standarisasi seperti sekolah lain, aku dan teman-teman
yang lain tetap memanfaatkan sebaik-baiknya. Selain mengadakan sekolah gratis,
Pak Kalnis juga membuat program kelas tambahan untuk Seleksi Bersama Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Program tersebut diadakan untuk siswa yang
ingin melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi dan dimulai pada H-15 sebelum UN.
Menjelang UN aku sudah mulai jarang
untuk mengamen di dalam bus kota, lebih memilih meninggalkan perkerjaan itu sementara
waktu untuk mencoba mengejar mimpiku. Namun, terkadang aku tetap mengamen untuk
membantu Kak Butet dan orang tua di kampung. Senin sampai Jumat, pukul 08.00
WIB-16.00 WIB, kami gunakan untuk memulai kelas tambahan menjelang ujian
nasional. Melihat kondisi sekolah yang tidak kondusif dan harus bergantian
dengan adik-adik Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan SMA
Kelas 1, 2. Akhirnya kelas tambahan diadakan di sebuah rumah milik relawan yang
berada di Timur Kota Depok. Kelas tambahan tersebut, mengharuskan kamu untuk
mengerjakan 200 soal/hari dari empat matapelajaran yang diujikan seperti
Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS).
H-20 menjelang UN, pikiranku mulai
merasa tidak tenang karena di H-15 pendaftaran terahir untuk kelas tambahan
SBMPTN. Hal itu diperparah, karena aku belum berani untuk meminta izin ke Kak
Butet. Gelisah, gundah gulana, tidak fokus, dan sedih semua perasaan itu mulai
aku terasa di dalam jiwa. Selalu ketika ingin berangkat kelas tambahan UN,
sekilas pikiran itu muncul, “Bagaimana nanti biaya saat kuliah? Apa aku mampu?
Apa orang sepertiku layak untuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi? Semisal aku
kuliah, bagaimana dengan nasip orang tua di kampung? Semisal kuliah, apakah aku
mampu tetap mengirim uang untuk orang tua di kampung?” Pikiran tersebut selalu
melintas didalam benakku.
Pikiran tersebut yang terus muncul
dan mulai menganggu, aku mulai mencoba untuk selesaikan dan mencari jalan
keluarnya. Hal yang pertama aku lakukan adalah berbicara dengan dan
berkonsultasi dengan Kak Butet. Hari Rabu setelah setelah kelas tambahan, aku
memberanikan diri untuk berkonsultasi tentang pendidikan kepada Kak Butet. Hari
Rabu ku pilih, karena Kak Butet sedang libur dan biasanya menghabiskan waktu
dengan beristirahat di rumah kontrakan.
Pukul 17.00 WIB, aku sudah berada di
rumah kontrakan. Awalnya, aku ingin langsung memulai pembicaraan ini kerena Kak
Butet sedang bermalas-malasan di kasur yang bentuknya tidak karuan itu. Tetapi
pembicaraan itu aku tahan hingga setelah adzan magrib berkumandang. Aku tau, Kak
Butet tidak ingin sholat magribnya tertanggung oleh siapapun.
Akhirnya,
adzan magrib berkumandang dari sebuah musolah yang berada di ujung gang dekat
dengan rumah kontrakan. Aku dan Kak Butet mulai berjalan untuk ambil air wudhu
di kamar mandi yang berada tidak jauh dari ruang tamu atau dapat dikatakan
berdekatan dengan kamar tidur kami berdua. Selesai mengambil air wudhu, aku dan
Kak Butet memulai solat berjamaah di dalam kontrakan. Kak Butet yang menjadi
imamnya, aku menjadi makmumnya.
Setelah
selesai dengan ibadah sholat magrib, aku memberanikan diri untuk berkonsultasi
dengan Kak Butet. Sebenarnya aku memiliki keraguan jika konsultasi pendidikan
dengannya. Kak Butet sangat tidak suka, ketika kami berdua jauh-jauh merantau
ke kota untuk mencari uang, tetapi aku malah menghambur-hamburkan uang untuk sekolah.
Menurut pandangan Kak Butet, aku sebagai adik hanya menghabiskan uang tanpa ada
manfaat yang berarti. Meskipun sekolah ku gratis, tetapi Kak Butet selalu
berpandangan, bahwa waktu yang aku gunakan untuk sekolah bisa dikatakan buang-buang
waktu. Menurutnya juga, waktu yang aku pakai untuk sekolah bisa digunakan untuk
mencari uang dengan berkerja. Bahkan, ketika aku memutuskan untuk melanjutkan
sekolah ke tingkat SMA, aku sempat ingin diusir dari rumah kontrakan, karena
keputusan aku yang dia anggapnya hanya akan membebani orang tua di kampung.
Semenjak
kejadian tersebut, hampir tidak pernah aku membahas dunia pendidikan dengan Kak
Butet. Akhirnya, sekarang ini aku memberanikan diri untuk untuk membahas
pendidikan dengannya.
“Kak
Butet boleh minta waktu? Ada yang aku pengentanyain ke Kak Butet.” Kalimat
pertemaku dengan sedikit keraguan.
“Yaaa
silahkan, apa yang ingin kau tanyakan?” Menjawab sambil mengisap rokok yang
berada di tangan kanannya.
“Begini
kak, akukan sudah kelas tiga SMA dan…….” Belum selesai bebicara, perkataanku
sudah dipotong dan langsung dijawab olehnya.
“Dan
butuh duit? Engga, aku ga akan ngasih uang untuk pendidikan yang sedang kau
jalanin itu Nei!!!” Potong Kak Butet dengan tegas.
“Tapi
bang, aku sebentar lagi mengikuti Ujian Nasional dan setelah itu ada ujian
masuk perguruan tinggi negri.” Dengan muka berusaha meyakinkan Kak Butet.
“Terus?”
Bang Butet dengan nada yang sudah mulai meninggi.
“Aku
ingin sekali masuk perguruan tinggi kak dan ingin ikut tes tersebut.” Dengan
suara lebut agar mencairkan suasana.
“Sudah
berapa kali aku bilang! Abang kau ini tidak akan setuju, jika kau melanjutkan
ke dunia pendidikan! Sengaja aku menghabiskan tabungan buat membelikan gitar
baru untuk kau, agar kau makin giat mencari uang!” Nada bicara Kak Butet yang
semakin meninggi.
“Tapi
Kak…..” Saut ku.
“Tapi
apa lagi? Kau harus ingat mamak dan bapak sekarang sudah tidak mempunyai
penghasilan yang tetap lagi. Mamak dan bapakpun mendapat uang hanya dari kita
dan sedikit bantuan dari tetangga di kampung, ingat itu Nei!” Bentak Kak Butet.
Seketika
aku terenung mengingat keseluruhan kondisi orang tuaku di kampung. “Tapi kak,
aku ingin mengubah kehidupan keluarga kita melalui jalur pendidikan!!” Seketika
itu juga, kepalan tanggan kanan Kak Butet menghantam tepat pada pelipisku dan
membuat ku terjatuh ke lantai.
“Kau
ini dikasih taunya tidak mau dengar! Apa tadi kau bilang? Mau mengubah nasib
lewat jalur pendidikan? Kau liat itu tetangga kita Sony, dia sudah 3 tahun
lulus dan mendapat gelar sarjana disalah satu universitas swasta ternama di kota
ini aja belum mendapat kerja!!” Dengan suara penuh emosi Kak Butet.
“Hei
Nei, sekarang kau tau dia kerja sebagai apa? Sebagai pengemudi ojek online di
kota ini!” Sambung Kak Butet.
“Kau
lihat itu, apa gunanya pendidikan kalau akhirnya hanya bekerja seperti itu? Kau
sudah bayar mahal-mahal dan membuang waktumu untuk mencari uang!!” Masih dengan
rasa emosi Kak Butet.
“Tapi
Kak, aku ingin sekali mengubah nasib keluarga kita melalu jalur pendidikan! Untuk
kasus Sony, kita semua ga tau, dia belum kerterima kerja karena apa, yang kita
tau hanya dia sudah lulus kuliah dan belum mendapatkan kerja!!” Aku membalas
dengan nada sedikit tinggi dan ternyata itu mengantarkan ku untuk mendapatkan
pukulan kedua tepat di pelipis mataku. Setelah pukulan kedua, aku memegang
pelipisku dan ternyata sudah mengeluarkan darah yang tidak sedikit tapi aku
hiraukan.
“Sudah
aku malas berbicara dengan orang yang keras kepala seperti kau. Pikirkan
kata-kata kakakmu ini dan pikirkan mamak dan bapak kita!” Sambil melangkah
untuk keluar dari kontrakan dan membawa sisa rokok yang belum dibakarnya.
Akupun membiarkan dia keluar
kontrak. Selesai perdebatan itu, aku melihat kondisi pelipisku di cermin
ternyata robek yang lumayan besar. Sambil aku mulai memberikan obat luka untuk
di pelipis, seketika itu pula terlintas dipikiran ku, “Apakah omongan Kak Butet
benar?” sambil mengobati luka. Akan tetapi, aku masih miliki keyakinan untuk
melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Aku merasa perdebatan tadi, aku belum
mendapat jawaban yang pasti untuk semua pertanyaan yang sering muncul tentang,
“Apakah aku mampu melanjutkan kejenjang perguruan tinggi negeri?” Untuk lebih
menenangkan pikiran, aku lebih memilih untuk beristirahat tidur karena esok
harinya masih ada kelas tambahan.
Keesokan harinya, aku tetap
memutuskan untuk mengikuti kelas tambahan untuk SBMPTN. Meskipun tidak direstui
oleh Kak Butet, aku tetap ingin mewujudkan mimpi, dan aku ingin mengubah
kehidupan keluarga agar menjadi lebih baik. Hari demi hari berganti, aku
habiskan dengan latihan soal dan belajar. Hari yang ditunggu-tunggu tiba juga
untuk ujian UN dan SBMPTN. Sebulan setalah ujian SBMPTN, hari pengumuman pun
tiba, rasa deg-degan menyelimutiku. Syukur alhamdullilah, aku dinyatakan lolos
di Universitas Diponegoro. Yang lebih membuat perjuanganku selama ini terbayar,
aku mendapat beasiswa untuk 4 tahun di kampus tersebut. Setelah diterima di
kampus negeri, sekarang aku sedang sibuk beroganisasi untuk mengembangkan
kemampuan soft skill dan mencari ilmu
baru.