Jokowi Dari Pengusaha Mebel Hingga Pencalonan Menjadi Wali Kota Surakarta.


Keterangan: Tulisan ini merupakan riset dari artikel-artikel media cetak/online yang relevan untuk digunakan. Tulisan ini dikerjakan karena penulis ingin mengetahui kisah Joko Widodo sebelum menjadi Wali Kota Surakarta. Penulis juga tidak menampik bahwa tulisanya masih terdapat banyak kekurangan. Terahir, semoga tulisan ini bermanfaat untuk menambah wawasan atau sekedar mengisi kekosongan waktu.


Joko Widodo (Jokowi) merupakan salah satu putra terbaik Indonesia yang lahir 21 Juni 1961, Jawa Tengah. Ia merupakan Presiden ke-7 Indonesia yang mulai menjabat 20 Oktober 2014 dengan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Sebelum menjabat menjadi presiden, ia merupakan seorang Gubernur DKI Jakarta berdampingan dengan Basuki Tjahja Purnama (Ahok) pada 2012-2014, dan ia juga mantan Wali Kota Surakarta ke-16 berdampingan dengan F.X. Hadi Rudyatmo pada 2005-2012. Selain itu, ia merupakan seorang pengusaha mebel di Surakarta yang sudah dirintisnya sebelum menjabat menjadi Wali Kota Surakarta ke-16.
        Ia memulai usaha mebel pada 1988 dengan mendirikan Comanditare Venootschap (CV) Rakabu yang diambil dari nama anak pertamanya Gibran Rakabuming Raka. Dalam perjalanan bisnisnya, ia mengalami pasang surut, dan pernah tertipu oleh rekan bisnis yang berdampak pesanan mebelnya tidak dibayar. Dengan segala usaha, ia mencapai masa kejayaan di kancah bisnis sekitar 1990an. Hal itu disebabkan, ekpor kebutuhan mebel stabil, kebutuhan mebel di Surakarta dan kota-kota di Pulau Jawa stabil.
     Kiprah Jokowi dalam dunia mebel membawa aura positif dengan memprakarsai pembukaan cabang Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) di Surakarta. Organisasi tersebut tersebar di seluruh Indonesia. Pada 11 Juli 2002, Jokowi mulai menghidupkan organisasi tersebut dengan didaulat menjadi ketua untuk cabang Surakarta.
Ketika menjabat menjadi ketua Asmindo Surakarta, ia harus dituntut mampu bersaing dengan mebel dari luar negeri khususnya Cina dan Vietnam yang dinilai lebih murah dibandingkan dengan mebel dalam negeri. Menurut Direktur PT Kharisma Rotan Mandiri Supryadi pada 2004, permasalahan tersebut terjadi karena kelangkaan bahan baku kayu untuk produksi. Hal tersebut disebabkan karena banyak kayu selundupan dari Indonesia yang dijual ke China. Beban bisnis mebel juga disebabkan oleh sikap aparat pajak yang kerap tidak fair. Ketidak fairan aparat pajak disebabkan karena, mereka (aparat pajak) menakuti-nakuti pengusaha kecil dan menengah agar membayar pajak jauh di atas angka sebenarnya. Karena ditakut-takuti tersebut, lalu muncul negosiasi angka yang harus dibayarkan ke oknum aparat pajak. Ironisnya, ketika angka sudah disepakati dengan harga ratusan juta rupiah, ternyata yang tertera dalam faktur pajak hanya puluhan juta rupiah. Banyaknya pungutan yang harus dibayarkan oleh pengusaha mebel dalam negeri, berdampak pada harga mebel yang lebih mahal sekitar 20-30% dari harga barang-barang China.
Menyikapi kelangkaan bahan baku kayu pada 2004, beberapa pengusaha mebel yang tergabung di Asmindo mulai mengimpor kayu jenis oak, ash, cherry, dan maple dari Kanada untuk meningkatkan kapasitas produksi mebel yang akan diekspor ke negara-negara Eropa Barat. Menurut Jokowi selaku ketua Asmindo Surakarta, kegiatan tersebut terjadi karena bahan baku kayu Jati dan Mahoni semakin sulit didapatkan. Tidak hanya itu, kayu tersebut diimpor karena sudah berbentuk potongan yang siap diolah menjadi bagian-bagian mebel. Harga kayu-kayu itu 1.000-1.200 dollar Amerika Serikat (AS) per meter kubik lebih murah dibandingkan dengan harga kayu jati tua lokal yang mencapai 1.800-3.000 dollar AS per meter kubik. Ia menambahkan, kondisi ini sangat ironis karena pasar ekspor mebel masih sangat terbuka dan Indonesia merupakan penghasil kayu yang sangat besar.  Terbukanya pasar internasional ditunjukan oleh kenaikan ekpor sebesar 5% dalam tiga tahun terahir.
Asmido ketika Jokowi menjabat menjadi ketua cabang Surakarta pada 2004 sedang membangun kawasan industry mebel seluas 24 hektar di Kalijambe, Sragen, Jawa Tengah. Kawasan tersebut dipilih karena aksesnya dekat dengan jalan raya dan rel kereta api. Lokasi tersebut juga hanya berjarak 15 kilomenter dari bandara dan hanya butuh waktu 15 menit ke pusat Kota Surakarta.
Tujuan dibangunnya kawasan industry karena mampu menampung 50 perusahaan mebel besar dan 370 pengrajin mebel, dan kantor cabang Dinas Perisdustrian dan Perdagangan. Selain dapat menampung pengusaha, kawasan tersebut juga mampu menjadi terminal kayu seluas 24.000 meter persegi untuk menampung kiriman dari berbagai tempat. Fungsi utama pembangunan kawasan industry ini untuk menyatukan berbagai pelaku usaha industry mebel dan mempermuda untuk mengontrol kualitas mebel yang dipesan dari para perajin. Sebelum dibangun kawasan industry, para pengusaha mebel mengalami kesulitan dalam mengontrol para perajin dengan lokasi yang terpisah-pisah. Selain itu, kontrol kualitas sangat penting dilakukan, karena pembeli dari luar negeri selalu menginginkan barang dengan kualitas yang sama dan konsisten.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sragen mendukung pembangunan kawasan tersebut dengan memberi kemudahan perizinan, bantuan mesin pengering, dan mesin-mesin pengolah dasar yang dapat dimanfaatkan para perajin. Tidak hanya itu, kawasan industry yang sedang dibangun juga akan didekatkan dengan teriminal peti kemas yang akan dibangun Pemkab Sragen sehingga akan memudahkan proses ekpor.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah mendukung pembangunan kawasan industry tersebut dengan cara, akan membangun stasiun peti kemas di dekat lokasi kawasan industry tersebut. Pembangunan tersebut diharapkan mampu memperkecil biaya pengangkutan dan meningkatkan daya saing. Pembangunan stasiun baru disebabkan karena, stasiun peti kemas di Stasiun Jebres, Solo, tidak berjalan efektif karena letaknya di pusat kota sehingga sulit dijangkau truk kontainer. Pemprov memberikan catatan khusus untuk pembangunan stasiun baru. Pemprov akan membangun stasiun baru di dekat lokasi kawasan industry jika ada kepastian akan kelangsungan pengiriman peti kemas ke Pelabuhan Tanjung Mas Semarang. Tanpa kepastian pengiriman ke Pelabuhan Tanjung Mas Semarang, stasiun itu akan rugi karena tingginya biaya oprasional.
Untuk menjaga ketersediaan bahan baku kayu di Jawa Tengah, Jokowi mengatakan harus melakukan membeli pasokan kayu dari luar Pulau Jawa. Hal itu harus dilakukan karena pasokan kayu dari Pulau Jawa sudah semakin sedikit. Namun, pembelian tersebut tidak dapat dilakukan dalam jumlah kecil sehingga harus dilakukan dalam jumlah besar. Hal itu dikarenakan pembelian kayu legal menggunakan kapal pengangkut pada 2004 harus dilakukan dalam jumlah 6.000-17.000 meter kubik. Untuk membeli kayu dalam jumlah tersebut, pengusaha harus menyediakan dana antara Rp 6.600.000.000 sampai Rp 18.700.000.000 dan lahan penampungan kayu ribuan meter persegi.
Besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha, mengharuskan para pengusaha mebel untuk membentuk konsornium agar mampu membeli kayu dalam jumlah besar. Diharapkan pengusaha tidak membentuk organisasi baru untuk menciptakan konsorsium itu, karena sudah dapat dialankan melalui Asmindo. Jika konsornium itu dapat direalisasikan, pengusaha dapat memanfaatkan lahan seluas 4.000 meter persegi di Kalijambe, Kabupaten Sragen untuk penampungan kayu.
Untuk menggairahkan iklim bisnis mebel, Asmindo Surakarta yang diketuai Joko Widodo dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Surakarta. Mengadakan promo yang diikuti oleh 52 perusahaan mebel dan tekstil di Surakarta. Promo tersebut bertujuan untuk menyambut kedatangan 30 pembeli dari Eropa Timur yang akan berkunjung ke Surakarta. Kedatangan 30 pembeli dari Eropa Timur, merupakan kelanjutan dari yang pernah dilakukan oleh Asmindo Surakarta ketika melakukan promosi ke Bulgaria, Hongaria, Polandia, Sebia, dan Montenegro. Menurut Jokowi, pengusaha mebel yang tergabung di Asmindo telah melakukan ekspor sekitar 650 kontainer tiap bulannya dengan nilai masing-masing kontainer mencapai 11.000 dollar Amerika Serikat.
Dari pameran tersebut, pembeli diharapkan mampu melihat produk-produk yang mungkin diminati. Selanjutnya, mereka juga dapat melihat secara langsung, proses pengerjaan produk di pabrik sehingga benar-benar ada penilaian obyektif dari pembeli.
Mekipun mengalami kendala menitipsnya bahan baku kayu pada 2004, ekspor furniture dan kerajinan ke Eropa menjelang Natal dan Tahun baru mengalami kenaikan. Bahkan pengusaha mebel di Surakarta mengaku mengalami kewalahan menghadapi banyaknya permintaa yang sudah dapat dirasakan mulai bulan Agustus. Meningkatnya permintaan di pasar Eropa karena ada tren mengganti mebel menjelang Natar dan Tahun Baru di Eropa. Puncak dari peningkatan permintaa tersebut biasa terjadi pada bulan November hingga 100%.
Tidak hanya itu, kabar baik kembali berhembus, beberapa buyer yang biasa membeli produk dari China dan Vietnam kembali membeli produk Indonesia. Hal ini terjadi karena faktor ketepatan waktu. Ketepat waktu menjadi fakor yang penting karena pengusaha di luar negeri terbiasa membuat katalog produk. Kalau barang yang ditampilkan di katalog ternyata terlambat ditemui konsumen, otomatis konsumen akan mengalami kekecewaan dan berdampak pada berkurangnya angka penjualan. Jokowi juga beranggapan, secara sepintas produk dari China dan Vietnam terlihat bagus, tetapi jika kita perhatikan lebih detail, produk buatan China dan Vietnam kalah dibandingkan dengan produk Indonesia. Hal itu terjadi karena pengusaha Indonesia sudah bisa menjaga stabilitas kualitas dari produk yang dibuatnya.
Jokowi juga memberikan masukan ke pemerintah Indonesia agar memperhatikan penurunan dan menjaga ketersediaan bahan baku. Pemerintah harus bertindak tegas untuk mencegah penebangan liar dan penyelundupan kayu ke luar negeri agar pengusaha dalam negeri mendapat bahan baku secara murah. Untuk mencegah penebangan liar, pemerintah harus melakukan pembenahan distribusi nasional agar kayu dari luar Jawa tidak menumpuk di sekitar hutan, tetapi dapat dikirim ke pusat-pusat industry mebel di Jawa. Menurutnya, hal tersebut harus dilakukan pemerintah karena diperkirakan dapat meningkatkan ekspor mebel sampai 30% per tahun.
Jokowi bersama pengusaha mebel seperti Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Solo Hardono di Solo. Beranggapan bahwa Peraturan Daerah (Perda) pada 2014 di Solo 70% memberatkan. Perda yang dianggap memberatkan masyarakat dan pengusaha, antara lain perda mengenai sampah, izin gangguan, pajak penerangan jalan (PPJU), pergudangan, kebakaran, dan perda tentang izin usaha. Menurut Hardono, Perda tersebut bertujuan untuk peningkatan pendapat asli daerah (PAD), namun tidak memperhatikan kondisi keuangan masyarakat saat ini. Sebagai contoh, menurutnya, mengenai PPJU dinilai memberatkan masyarakat dan pengusaha karena mengenakan retribusi sebesar sembilan persen dari tarif listrik yang dibayarkan. Tarif tersebut dinilai terlalu besar karena retribusi PPJU di berbagai kota hanya berkisar 3-5%. Hardono menambahkan, yang paling dibebani dengan tariff PPJU adalah perhotelan dan rumah makan. Padahal, kondisi kedua subsktor ekonomi ini sedang mengalami kelesuan karena masih minimnya wisatawan dan pengunjung ke Solo.
Menurut Jokowi sebagai ketua Asmindo Surakarta, Pemkot Solo tidak perlu membuat berbagai peraturan yang membebani rakyat dan pengusaha, hanya demi meningkatkan PAD. Pemkot justru harus membuat perda yang memfasilitasi masyarakat untuk mengembangkan usahanya, karena jika ekonomi tumbuh dengan pesar, PAD melalui sector pajak juga meningkat.

Menjelang pencalonan menjadi Wali Kota Surakarta.

            Jokowi dapat dikatakan tidak menempatkan kata politik dalam target hidupnya. Bahkan, menurut keterangan Jokowi di media nasional, ia terjun di dunia politik karena “tercebur”. Terdorong untuk ke dunia politik ketika Jokowi berada di titik aman bisnisnya. Hal itu sebabkan karena Jokowi banyak melihat kesengsaraan khususnya di daerah Surakarta.  Kesengaraan itu  dapat dirasakan ketika masyarakat di luar Surakata mengatakan Surakarta sebagai kota cagar budaya, namun warga di kampung-kampung penghasil karya seni khas hidup susah. Hal itulah yang mendorong Jokowi untuk membina lahirnya organisasi yang memayungi pengrajin dan pengusaha mebel di Surakarta. Sebuah kancah yang akhirnya membawanya ke dunai politik. Selain itu, aktivitasnya di sebuah organisasi pedagangan mebel yang menaungi pedagang mebel di seluruh Indonesia dan lebih dari 140 pengusaha mebel kerajinan di Surakarta, kemudia disorot oleh orang-orang politik.
            Memasuki 2005 suara-suara bujukan untuk menjadikan Jokowi sebagai Wali kota Surakarta menjadi dorongan yang sangat kuat. Karena adanya dorongan tersebut, ia meminta pertimbangan dari pihak keluarga, seperti istri dan anak. Awalnya Gibran yang merupakan anak sulung Jokowi tidak setuju jika ayahnya terjun dalam dunia politik. Gibran lebih suka ayahnya sebagai pembisnis jika dibandingkan sebagai politikus. Namun, keputusan Jokowi sudah matang. Istri dan anaknya pun menghormati pilihannya.
            Pada 2005 Jokowi maju sebagai calon Wali kota Surakata berpasangan dengan F.X. Hadi Rudyatmo dengan partai pengusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Kedetakan Jokowi dengan PDI-P pertama kali bukan pada 2005, akan tetapi pada 2004 sudah ada indikasi kedetakannya dengan partai yang memiliki suara terbanyak di Jawa Tengah. Kedekatan tersebut terlihat, ketika Jokowi menyumbang dana untuk tim kampanye Megawati-Hasyim Muzadi dalam pemilihan presiden. Namun, sumbangan yang diberikan tidak mencapai puluhan juta.
            Sebelum ditetapkan akan diusung oleh PDI-P, Jokowi harus mengikuti konvensi PDI-P yang diadakan bulan Maret 2005. Konvensi tersebut bertujuan untuk menjaring bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota dari PDI-P. Terdapat empat pasangan Joko Widodo-Rudy, Slamet Suryanto-Abimanyu, Warsito Sanyoto-Dr Fathoni, dan Fereid Badres-Djoko Trisno Widodo  yang bertarung merebut suara kader PDI-P. Dari jumlah undangan 411 orang, hanya 367 orang yang hadir dan mengikuti proses pemungutan suara.
            Hasil pemungutan suara tersebut dimenangkan oleh Jokowi-Rudy dengan perolehan suara 251 suara, Slamet Suryanto-Abimanyu 57 Suara, Wasito Sanyoto-Dr Fathoni 52 suara, dan Fereid Badres-Djoko Trisno Widodo dengan 5 suara. Dalam pemilihan suara tersebut terdapat 2 surat suara yang dianggap tidak sah, karena menyalahi aturan penyoblosan. Para lawan Jokowi dalam konvensi PDI-P berlapang dada dalam menerima kekalahan, menurut mereka, proses pengambilan suara tersebut sudah berjalan sesuai demokrasi.
            Tahap pemilihan ini merupakan tahap awal, setelah ini Jokowi-Rudy harus menunggu rekomendasi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Jawa Tengan dan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P.
Rabu, 6 April 2005 Jokowi- FX Hadi Rudiatmo dari paritai PDI-P ke kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan didampingi sejumlah fungsionaris PDI-P Surakarta, puluhan pendukung, tukang becak, pedagang, dan sopir angot. Langkah tersebut dilakukan karena pasangan tersebut mendapatkan rekomendasi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P No 988/In/DPP/III/2005.